Pendidikan Keagamaan Ditingkatkan

Rabu, 01 April 2009
PARIAMAN, METRO--Pemerintah Kota Pariaman akan terus mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan keagamaan di tiap jenjang pendidikan, termasuk Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) dan Taman Pendidikan Seni baca Al Qur’an (TPSA). Hal itu untuk menciptakan intelektualitas siswa dengan sumber daya manusia (SDM) keagamaan andal dan mandiri di masa datang.
Hal itu disampaikan Wali Kota Pariaman Drs H Mukhlis R MM kepada koran ini, kemarin. Katanya, kualitas pendidikan keagamaan yang baik akan mampu membentengi diri anak didik dari pengaruh dunia barat yang merongrong sendi-sendi agama dan budaya.Menurutnya, perlu strategi yang matang dalam proses pembelajaran. Tiap guru dituntut tidak lagi menggunakan metode yang kaku, namun lebih bervariasi. Karena membangkitkan semangat belajar siswa hal yang paling penting. Sebab pada dasarnya siswa bukanlah wadah yang harus diisi, melainkan api yang harus disulut. Katanya, kegembiraan siswa dalam menerima pembelajaran perlu diperhatikan. Karena itu adalah dijadikan faktor penentu meningkatkan kualitas belajar. Guru dituntut mengoptimalkan peran siswa agar potensi mereka merasa dihargai. Pemahaman inilah yang wajib terus dikembangkan, karena dapat menciptakan kebahagiaan siswa. Sehingga mereka menjadi tekun belajar.Dijelaskan Wako, kunci utama untuk meraih kesuksesan dalam mewujudkan hal tersebut di atas adalah dengan menciptakan komunikasi yang santun dalam setiap kegiatan belajar mengajar bahkan di luar kegiatan belajar mengajar. Di samping itu marilah terus di pupuk dan kembangkan komitmen dan budaya keteladanan bagi setiap insan pendidikan dalam mendukung terlaksananya program-program pendidikan.Khusus untuk TPA/TPSA, katanya, untuk meningkatkan kualitasnya Pemko telah mengambil kebijakan mengangkat statusnya menjadi MDA. Tujuan tidak lain untuk mewujudkan pengembangan metode pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan. Saat ini Pemko bersama dengan DPRD tengah membahas Peraturan Daerah (Perda) Baca Tulis al Quran untuk memperkokoh penanaman nilai-nilai yang terkandung di al Quran itu. Terutama bagi generasi muda sebagai pelanjut tongkat estafet pembangunan. Muhkis R mengimbau masyarakat untuk membangun keluarga yang baik. Karena pada keluarga merupakan lingkungan hidup primer dan fundamental, tempat terbentuknya kepribadian yang mewarnai kehidupan manusia.“Keluarga juga menentukan masyarakat, bangsa dan negara. Tentunya semuanya itu bisa tercapai, jika setiap keluarga dapat mewujudkan keluarga sejahtera,” tandasnya.(efa)

Internalisasi Nilai Agama dalam Pendidikan Lingkungan (Strategi Menanamkan Kearifan Ekologi secara Dini)

Pergeseran posisi manusia sebagai bagian dari alam menjadi penguasa alam akhirnya membawa bencana. Banjir bandang dan tanah longsor menghancurkan beberapa desa dan kecamatan di Kabupaten Jember, menewaskan lebih dari 60 orang, meluluhlantakkan segala harta benda, serta menghancurkan perkebunan yang selama ini diyakini sebagai penyebab kerusakan alam karena adanya alih fungsi hutan. Awal Tahun 2006 ini bencana atau musibah yang menimpa kian bertambah besar dan merata. Dipastikan setiap kali pergantian musim selalu diiringi musibah baru. 

Datangnya musim hujan disertai berbagai bencana. Antara lain banjir, tanah longsor, dan berbagai penyakit. Ribuan rumah di Jawa Timur tergenang di Blitar, Situbondo, Malang, Banyuwangi, Pasuruan, dan hampir diseluruh kabupaten di Jawa Timur. Wajah seperti inipun kemudian tampak di Jawa Barat, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), NTB (Lombok Timur dan Sumbawa), NTT, dan berbagai daerah lain. Ribuan orang harus kehilangan rumah, harta benda, bahkan sanak saudara. Ribuan anak pun tidak bisa sekolah karena sekolah tergenang air, roboh akibat banjir, maupun buku-buku basah. Jutaan hektar lahan pertanian yang menjadi sumber pencaharian masyrakat rusak, panen terancam gagal dan ternak mati. 

Perspektif agama 

Dari realita di atas sangat wajar bila manusia selalu mendapat bencana, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran, gunung meletus, kekeringan, dan lain-lain, mengingat manusia -yang katanya makhluk beragama-sama sekali tidak pernah menghargai, menghormati, apalagi mensyukuri lingkungan yang telah diberikan Tuhan. Dalam perspektif agama, musibah atau bencana di negeri ini merupakan warning dan atau cobaan yang diberikan Tuhan pada hamba-Nya yang berbuat salah, yang senantiasa melakukan kerusakan-kerusakan di bumi. 

Al-Qur'an sebagai sumber moral manusia dengan tegas telah menjelaskan posisi manusia-ekologi. Allah SWT menasbihkan manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalifatulah fil ardi) (Q.S. Albaqarah: 30) yang berkewajiban memakmurkan dan membudidayakannya (Q.S. Hud: 61), sekaligus melestarikan dan menjaga keseimbangan (equilibrium) lingkungan" (Q.S. Arrahman: 6-9). Agar peran mulia kekhalifahan bisa berfungsi optimal, dapat mencapai dimensi kualitatifnya yang tinggi, maka manusia (kita) niscaya dengan ikhlas pada saat yang bersamaan harus melibatkan dimensi kesediaan diri untuk menegakkan kebaktian/ibadah ('abdullah). Di antaranya dengan memperlakukan lingkungan dengan penuh tanggung jawab. Karena dalam pandangan Ilahi, alam memiliki hak yang sama dengan manusia (Q.S. Al-Hijr: 86). 

Konsep ekologi modern menunjukkan ayat-ayat di atas adalah dasar dari proses regulasi alam bagi makhluk hidup. Terdapat pola hubungan kemanfaatan bagi hubungan timbal balik yaitu komponen biotic dan abiotik. Hubungan tanah (bumi), udara (langit), air tumbuhan dan segala yang hidup. Sangat jelas, sekali hak alam ini kita abaikan dan atau malah kita perlakukan dengan kebuasan tak terkendali demi memanjakan hasrat primitif, sudah menjadi sunatullah, pada ambang batas yang sudah tidak bisa ditolerir lagi alam pun akan melakukan "perlawanan". 

Secara khusus dalam syariat Kristen terdapat pola religius relasi manusia dengan alam semesta. Gadium et Spes bicara secara jelas tentang hubungan manusia dengan alam, semua punya moral (Rm 8:21). Serta semuanya adalah milik manusia, tapi manusia milik Kristus dan Kristus adalah milik ALLAH (1 Kor 3:23. selanjutnya manusia dapat mengembangkan anugerah jasmani rohani, menakluikkan alam semesta untuk seluruh umat manuisa (Gaudium et spes). Kristen menganjurkan dalam hal ini bahwa pembangunan lingkungan harus bertujuan mencapai mutu hidup optimum bagi masyarakat. 

Agama Hindu pun mengajarkan bahwa lingkungan memegang peranan sangat penting tubuh manusia. Getaran-getaran dan gaya tarik lingkungan untuk mnedapatkan hidup yang lebih nikmat. Konteks ini memberi petunjuk dan pedoman bahwa Tuhan pencipta alam semesta menyuruh untuk memanfaatkn lingkungan hidup dan kualitasnya. Dalam agama Buddha ajaran melestarikan berasal dari pola kedisiplinan yang diterapkan oleh 227 kedisiplinan buddhis dalam "227 patimokkha sikhapada". Secara praktis (Legowo E,1997), kebajikan pada "Dasa Paramitta" menjadi modal ketaatan umat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup yaitu dana parramita, sila paramitta, nkkhamma paramitta, panna paramitta, viriya paramitta, khanti paramitta, sacca paramitta, adithana paramitta, metta paramitta dan upekkha paramita 

Internalisasi nilai 

Dalam perkembangannya telah muncul berbagai gagasan menangani ketidakseimbangan lingkungan untuk perbaikan kualitas hidup yang ramah lingkungan. Pendidikan lingkungan menjadi salah satu alternative yang rasional dan diharapkan dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 1996 yang kemudian direvisi pada bulan Juni 2005. Harapan ini sangat relevan mengingat Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai bentuk aplikasi dari Undang-undang No. 20 tahun 2003 mempunyai orientasi yang lebih luas, dimana kompetensi bukan hanya ada dalam tatanan pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambar dalam pola perilaku. 

Jika dipandang dari segi lingkungan maka kompetensi yang dimiliki oleh siswa setidaknya merupakan upaya sadar seseorang yang dilakukan untuk menerima pengetahuan dan mengubah sikapnya tentang kearifan lingkungan menjadi lebih baik. Cara pandang agama-agama dan cara pandang kearifan local tentang lingkungan hidup akan menjadi pondasi utama dari penerapan kompetensi tersebut. Dengan kata lain nili-nilai agama akan menuntun pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang terepleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak tersebut. 

Dua dari lima agenda membangun keadaban ekologis yang ditawarkan oleh Zainal Alyy Musthofa (Dumas, 20/01/06) dalam artikelnya yang berjudul "Menggagas Teologi Keadaban Ekologis" menarik untuk kita dicermati. Dua agenda tersebut adalah gerakan ecoreligism atau paham penyelarasan nilai agama untuk penyelesaian masalah lingkungan dan penggalakan gerakan pendidikan lingkungan di sekolah. Kedua alternative ini sangat wajar untuk dielaborasi mengingat agama adalah tuntunan hidup yang mutlak sementara pendidikan adalah wahana formal penanaman nilai secara dini. 

Pendekatan seperti ini merupaskan sumber baru dari sebuah khasanah lama pendidikan, tradisi kearifan local dan keagamaan Indonesia. Oleh karena itu upaya menggali pendekatan ini patut mendapat perhatian dengan kata lain bahwa internalisasi nilai-nilai keagamaan sangat mutlak diarusutamakan. Titik cerah kearah tersebut sangat diharapkan apalagi dunia konservasi memerlukan ahli multidisiplin untuk menyakinkan masyarakat bahwa melindungi alam bukan sekedar memberikan proteksi, tapi ada unsur ilmu pengetahuan dan relegius yang bisa digali didalamnya dan ada pula unsur mamfaat yang bisa diambil untuk kesejahteraan manusia baik secara umum maupun dalam bentuk ibadah.

Korelasi UU Sisdiknas dan PP Pendidikan Keagamaan

Selasa, 10 Maret 2009
Pada tanggal 10 Maret 2009 Kantor Depag Kota Semarang mengadakan Rapat Kerja (Raker). Raker diikuti oleh Kepala KUA, Pejabat struktural di lingkungan Depag dan beberapa Kepala MI atau MTs. Pada salah satu sesi raker tersebut, Dinas Pendidikan Kota Semarang turut menyampaikan materi dengan topik Korelasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan. Pada materi yang disampaikan diulas tentang hirarki regulasi dari UUD 1945 sampai turunnya PP 55/2007 tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”. Oleh karenanya Pendidikan keagamaan jelas merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Hal tersebut menyiratkan arti pentingnya pendidikan agama dan keagamaan dalam Sistem Pendidikan Nasional
Terakhir diperbaharui ( Rabu, 11 Maret 2009 )