PENGEMBANGAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM MATA PELAJARAN SOSIOLOGI DI SMA


Sebagaimana telah dideskripsikan Departemen Pendidikan Nasional (2004) dalam "Kurikulum Sosiologi tahun 2004", bahwa pembelajaran Sosiologi berperan sebagai wahana pengembangan kemampuan siswa dalam mengaplikasikan pemahamannya terhadap fenomena kehidupan sehari-hari. Sebagai wahana pengembangan kemampuan siswa, materi pelajaran mencakup konsep-konsep dasar, pendekatan, metode, dan teknik analisis dalam pengkajian berbagai fenomena dan permasalahan yang ditemui dalam kehidupan nyata hidup bermasyarakat. Materi tersebut sekaligus menjadi pengantar bagi siswa-siswa yang berminat mendalami Sosiologi lebih lanjut.

Malik Fajar (1988 : 67) menyebutkan, bahwa kegiatan pendidikan adalah kegiatan pembelajaran. Betapa pun baiknya konstruksi filsafat pendidikan, tetapi jika tidak ditindaklanjuti dengan kegiatan pembelajaran yang baik, pendidikan dapat dikatakan telah mengalami kegagalan semenjak proses yang paling awal.

Jadi, kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran, termasuk Sosiologi, sangat penting peranannya. Aspek-aspek pembelajaran Sosiologi mencakup aspek-aspek kognisi, afeksi, dan keterampilan. Menurut Bloom (dalam Mulyono, 1985 : 15), aspek keterampilan yang harus diajarkan melalui pembelajaran Sosiologi adalah "keterampilan berfikir, keterampilan akademis, keterampilan sosial, dan keterampilan meneliti".

Berkaitan dengan keterampilan sosial, maka tujuan pengembangan keterampilan sosial dalam mata pelajaran Sosiologi adalah agar siswa mampu berinteraksi dengan teman-temannya sehingga mampu menyelesaikan tugas bersama, dan hasil yang dicapai akan dirasakan kebaikannya oleh semua anggota masing-masing.

Hal ini selaras dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang sangat dipengaruhi oleh masyarakatnya, baik kepribadian individualnya, termasuk daya rasionalnya, reaksi emosionalnya, aktivitas dan kreativitasnya, dan lain sebagainya dipengaruhi oleh kelompok tempat hidupnya (Sumaatmadja, 1986 : 29).

Dengan demikian, pengembangan nilai-nilai dan keterampilan sosial harus menjadi salah satu tujuan pendidikan di tingkat menengah umum, khususnya SMA (Sekolah Menengah Atas).

Inti permasalahan yang telah diuraikan di atas adalah model pembelajaran yang kurang efektif merupakan salah satu penyebab rendahnya keterampilan sosial pada siswa. Untuk itu perlu dicari suatu inovasi model pembelajaran yang paling efektif, sehingga mampu mengembangkan keterampilan sosial siswa.

Sebagai salah satu mata pelajaran dii tingkat pendidikan menengah umum (baca : SMA), Sosiologi berfungsi untuk meningkatkan kemampuan berpikir, berperilaku, dan berinteraksi dalam keragaman realitas sosial dan budaya berdasarkan etika. Guna mengejawantahkan fungsi mata pelajaran ini, maka keterampilan sosial siswa harus dikembangkan secara optimal, sehingga pada gilirannya siswa memperoleh kecakapan hidup (life skills) yang bermanfaat bagi kehidupannya kini dan masa depannya kelak.

Berbagai ahli seperti Raven (1977 : 156), Bell (1966 : 112), McConnell (1952 :4), dan Conant (1950 : 74) telah menyebutkan, bahwa salah satu tujuan pendidikan menengah umum adalah untuk mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan sosial.

Nilai-nilai sosial sangat penting bagi anak didik, karena berfungsi sebagai acuan bertingkah laku terhadap sesamanya, sehingga dapat diterima di masyarakat. Nilai-nilai itu antara lain, seperti kasih sayang, tanggung jawab, dan keserasian hidup.

Adapun keterampilan sosial mempunyai fungsi sebagai sarana untuk memperoleh hubungan yang baik dalam berinteraksi dengan orang lain; contoh : melakukan penyelamatan lingkungan, membantu orang lain, kerja sama, mengambil keputusan, berkomunikasi, wirausaha, dan partisipasi.

Pengembangan nilai-nilai dan keterampilan sosial tersebut merupakan hal yang harus dicapai oleh pendidikan menengah umum. Hal itu karena anak didik merupakan makhluk sosial yang akan hidup di masyarakat.

Jadi, pengembangan nilai-nilai dan keterampilan sosial amat penting dalam pendidikan menengah umum. Namun, secara praksis, hal tersebut cenderung diabaikan, sebagaimana beberapa penelitian membuktikannya, bahwa :
1. Terdapat kecenderungan mengabaikan pembinaan nilai-nilai sosial dalam pendidikan, sehingga mengakibatkan eraosi nilai-nilai dan keterampilan sosial;
2. Mata pelajaran Sosiologi berkontribusi terhadap tanggung jawab sosial siswa (rasa memiliki, disiplin, tolong menolong, dan toleransi);
3. Model pembelajaran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepribadian sosial anak didik. Kepribadian sosial tidak cukup hanya diberikan dengan metode ceramah dan diskusi di kelas, melainkan dengan terjun langsung di masyarakat mengklarifikasi dan menghadapi kenyataan sosial, dapat membentuk kepribadian yang matang;
4. Model pembelajaran Sosiologi kurang berorientasi kepada pengembangan nilai-nilai dan keterampilan sosial. Dengan demikian, nilai-nilai dan keterampilan tersebut kurang dimiliki siswa, seperti kurang dalam hal kepedulian, kesetiaan, pengabdian, disiplin, empati, toleransi, mengatasi masalah, berkomunikasi, tanggung jawab, dan partisipasi terhadap sosial.

Keterampilan sosial yang perlu dimiliki siswa, menurut John Jarolimek (1993 : 9), mencakup :
1. Living and working together; taking turns; respecting the rights of others; being socially sensitive
2. Learning self-control and self-direction
3. Sharing ideas and experience with others

Dari pernyataan Jarolimek di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial itu memuat aspek-aspek keterampilan untuk hidup dan bekerjasama; keterampilan untuk mengontrol diri dan orang lain; keterampilan untuk saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya; saling bertukar pikiran dan pengalaman sehingga tercipta suasana yang menyenangkan bagi setiap anggota dari kelompok tersebut.

Keterampilan sosial siswa SMA sangat perlu dikembangkan, karena siswa SMA masih pada usia mencari jati diri dan pada saat itu adalah masa merindu-puja (masa membutuhkan teman), sehingga perlu bimbingan dengan ajaran yang memiliki landasan yang benar.

Keterampilan sosial yang sangat penting dalam pembelajaran Sosiologi ini ternyata secara empirik di lapangan sangat jarang dilakukan oleh guru; padahal guru sering menggunakan metode pendekatan kerja kelompok. Kenyataan ini dipicu oleh ketidakmengertian guru Sosiologi terhadap tujuan IPS pada umumnya dan pembelajaran Sosiologi pada khususnya.

Banyak metode yang dapat digunakan guru Sosiologi untuk dapat mengembangkan keterampilan sosial siswa, menurut Prayitno (1980 : 37), di antaranya yaitu :
1. Diskusi kelompok : diskusi kelompok besar/kecil; diskusi panel;
2. Simposium; ceramah forum; percakapan forum; seminar;
3. Role playing (permainan peranan) atau sosiodrama;
4. Fish bowl
5. Brainstorming
6. Problem solving dan inquiry
7. Metode proyek
8. Buzz Group
9. Tutorial
10. Dll.

Sementara itu, cara-cara berketerampilan sosial yang dapat dikembangkan kepada siswa adalah sebagai berikut :
1. Membuat rencana dengan orang lain;
2. Partisipasi dalam usaha meneliti sesuatu;
3. Partisipasi produktif dalam diskusi kelompok;
4. Menjawab secara sopan pertanyaan orang lain;
5. Memimpin diskusi kelompok;
6. Bertindak secara bertanggung jawab; dan
7. Menolong orang lain.

Seorang siswa dikatakan mampu berketerampilan sosial tatkala ia dapat berkomunikasi dengan baik sesuai aturan (tatacara) dengan sesamanya di dalam sebuah kelompok. Jadi, sarana kelompok (wadah) untuk berkomunikasi merupakan syarat yang harus ada di dalam memroses keterampilan sosial siswa.

Kelompok yang produktif adalah kelompok yang kaya dengan pencapaian tujuan kelompok dan kaya dengan pemberian sumbangan terhadap kebutuhan anggota-anggotanya. Produktivitas kelompok sangat dipengaruhi oleh semangat kerja kelompok, kebersamaan serta kepemimpinan dalam kelompok.

Kerjasama yang baik, yang seimbang antar individu-individu dalam suatu kelompok demokratis tidak ada dengan sendirinya saja, melainkan harus dipelajari. Maka untuk berusaha supaya dalam kelompok demokratis terdapat kerjasama yang efektif, berhasil baik, terdapat beberapa prinsip dinamika kelompok yang merupakan syarat dari produktivitas kelompok, yaitu :
1. Suasana (atmosphere);
2. Rasa aman (threat reduction);
3. Kepemimpinan bergilir (distributive leadership);
4. Perumusan tujuan (goal formulation);
5. Fleksibilitas (flexibility);
6. Mufakat (consensus);
7. Kesadaran kelompok (process awareness); dan
8. Evaluasi yang terus menerus (continual evaluation)

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan, agar keterampilan sosial siswa dapat berkembang dengan baik dalam mata pelajaran Sosiologi, maka hal itu tergantung pada :
1. Interaksi atau individu dalam suatu kelompok, yaitu bisa terlaksana apabila individu dalam kelompok telah dibekali dengan berbagai keterampilan sosial di mana salah satunya adalah : cara berbicara, cara mendengar, cara memberi pertolongan, dan lain sebagainya; serta
2. Suasana dalam suatu kelompok, yaitu suasana kerja dalam kelompok itu hendaknya memberi kesan semua anggota, bahwa mereka dianggap setaraf (equal), khususnya dalam pengembangan keterampilan sosial.
Pendidikan Kesetaraan Bisa Saingi Jalur Persekolahan

Kini ijazah Paket C setara dengan lulusan SMA. Anehnya, masyarakat masih memandang jalur pendidikan kesetaraan berada di level kelas dua. Ke depan jalur pendidikan ini harus menjadi kekuatan alternatif, yang bisa menyaingi jalur persekolahan.


Faktanya, pendidikan kesetaraan memang berada dalam posisi "pinggiran". Hal itu diperkuat oleh fakta bahwa sebagian besar peserta didik di sini adalah anak-anak miskin, berhenti sekolah di tengah jalan, atau orang dewasa yang belum pernah menamatkan pendidikan dasar dan menengah. Fenomena itu mesti diterima sebagai tantangan untuk memperbaiki citra itu. Semestinya hal itu menjadi pemacu semua pihak untuk menjadikan program tersebut memiliki daya tarik, yang siap bersaing dengan jalur persekolahan, bahkan mampu menempatkan diri sebagai "jalur pendidikan dasar dan menengah alternatif".

Artinya, sebagai cara lain bersekolah untuk dapat memberikan yang berbeda dan lebih dari apa yang diberikan sekolah. Para peserta didik lebih membutuhkan bekal keterampilan untuk secepatnya mendapatkan pekerjaan. Dalam perspektif ini, Diksetara yang bermutu tentulah yang dapat memberikan keterampilan relevan sehingga mereka cepat dapat bekerja setelah lulus.

Pendidikan kesetaraan berhasil dalam beberapa hal. Pertama, meningkatnya jumlah peserta didik. Kedua, meluasnya keragaman karakteristik sasaran program. Ketiga, meluasnya jangkauan akses pendidikan kesetaraan. Keempat, meningkatnya jumlah peserta dan lulusan. Kelima, meningkatnya rata-rata nilai hasil ujian nasional. Keenam, bervariasinya satuan pendidikan program Paket A, Paket B, dan Paket C. Ketujuh, berkembangnya inovasi pendidikan kesetaraan, termasuk model jemput bola dan sekolah rumah (homeschooling dan e-homeschooling. Kedelapan, meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan kesetaraan akibat keterlibatan berbagai pihak (legislatif, selebriti, Tokoh agama, pegiat) dalam sosialisasi pendidikan kesetaraan.

Sejak tahun 2006, Direktorat Pendidikan Kesetaraan telah membuat Program Beasiswa Keterampilan/Kejuruan bagi warga belajar berprestasi yang diarahkan pada pendidikan kecakapan hidup (life skill). Tujuan program ini peserta didik yang berprestasi, memeroleh keterampilan bermata pencaharian, membantu peserta didik mengembangkan potensinya untuk memperoleh keahlian yang digunakan untuk bekerja (menambah penghasilan) , membantu peserta didik untuk memperoleh keterampilan bekerja sehingga meringankan beban orang tua, dan mencegah terjadinya putus belajar karena peserta didik dapat memperoleh kemandirian.

Program tersebut bukan semata-mata pelatihan tapi memberikan modal kerja dan sertifikasi dari lembaga/institusi yang terakreditasi. Jenis-jenis keterampilan yang diajarkan disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan potensi sumberdaya lokal. Jenis keterampilan yang diajarkan antara lain pengembangan unit produksi agroindustri, pengolahan pasca panen, kursus komputer, teknikmesin, usaha jasa pariwisata, mekanik otomotif elektrik, satpam, dan sebagainya.

Proses pembelajaran reformatif selain efektif dalam mencapai hasil belajar, juga kondusif dalam upaya membangun citra diri (self image) bagi para peserta didik. Beberapa ahli telah melakukan penelitian dan observasi di seluruh dunia mengenai proses pembelajaran. Kesimpulannya, citra diri ternyata lebih penting dari pada materi pelajaran. Tolok ukur sesungguhnya dari sistem pendidikan masa depan, dengan demikian adalah seberapa besar mampu membangkitkan gairah belajar secara menyenangkan. Hanya dengan pendekatan inilah, para peserta didik akan terdorong untuk membangun citra
diri positif untuk pertumbuhan mereka.

Para ahli menegaskan, kurikulum harus menekankan empat hal kompetensi peserta didik. Hal itu mencakup citra diri dan perkembangan pribadi, pelatihan keterampilan hidup, belajar tentang cara belajar dan cara berpikir, kemampuan-kemampuan akademik, fisik, dan artistik yang spesifik. Apa yang telah dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Kesetaraan berikut merupakan upaya yang dibangun di bawah agenda reformasi kesetaraan. Tentu ada plus-minus yang masih perlu dikritisi, agar reformasi benar-benar menyentuh esiensi dan struktur perubahan.


Standar Mutu Pengelolaan

Berdasarkan kajian SKL pendidikan dasar dan menengah, kompetensi keterampilan fungsional dan kepribadian profesional sebagai kekhasan pendidikan nonformal tidak dimuat dalam SKL pendidikan dasar dan menengah.

Karena itu Direktorat Jenderal PLS menetapkan tambahan standar kompetensi keterampilan fungsional dan kepribadian profesional untuk program pendidikan kesetaraan seperti Paket A memiliki keterampilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Paket B memiliki keterampilan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja, dan Paket C keterampilan berwirausaha.

Mengingat Permendiknas No.022/2006 hanya mengatur standar isi pendidikan formal (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA; SDLB, SMPLB, SMALB; SMK), Direktorat Jenderal PLS mengusulkan kepada BSNP untuk melakukan penyusunan standar isi pendidikan kesetaraan program Paket A, Paket B, dan Paket C. Saat ini standar isi pendidikan kesetaraan sudah melalui uji publik dan dalam proses pembahasan akhir oleh BSNP untuk diajukan menjadi peraturan menteri.

Berbagai acuan pengelolaan pendidikan kesetaraan telah dihasilkan dengan berbagai perubahan pola pikir.

Dalam hal rekruitmen peserta didik dilakukan prioritas berdasarkan klasifikasi usia, yaitu tiga tahun di atas usia sekolah pada jenjang yang terkait. Kemudian diterapkan sistem yang lebih fleksibel sehingga dapat merekrut multikelas per kelas dan multi program per penyelenggara.

Rekruitmen tutor lebih memperhatikan kompetensi melakukan pembelajaran andragogik, pembelajaran rangkap kelas (multy grade teaching), dan lebih diutamakan merekrut tutor purnawaktu.

Pembelajaran dilakukan secara induktif dan tematik, sehingga penilaiannya otentik melalui portofolio dan laporan penilaian yang berbasis capaian kompetensi.


Inovasi Sistem

Proses pembelajaran Pendidikan Kesetaraan menggunakan pendekatan induktif, tematik, partisipatif (andragogis), konstruktif dan lingkungan.

Induktif maksudnya adalah pendekatan yang membangun pengetahuan melalui kejadian atau fenomena empirik dengan menekankan pada belajar pada pengalaman langsung. Pendekatan ini mengembangkan pengetahuan peserta didik dari permasalahan yang paling dekat dengan dirinya. Membangun pengetahuan dari serangkaian permasalahan dan fenomena yang dialami oleh peserta didik dan yang diberikan oleh tutor, sehingga peserta didik dapat membuat kesimpulan dari serangkaian penyelesaian masalah yang dibuat.

Tematik adalah pendekatan yang mengorganisasikan pengalaman dan mendorong terjadinya pengalaman belajar yang meluas tidak hanya tersekat-sekat oleh batasan pokok bahasan, sehingga dapat mengaktifkan peserta didik dan menumbuhkan kerjasama.

Konstruktif merupakan satu pendekatan yang sesuai dalam pembelajaran berbasis kompetensi, di mana peserta didik membangun pengetahuannya sendiri. Dalam pendekatan ini peserta didik telah mempunyai ide tersendiri tentang suatu konsep yang belum dipelajari. Ide tersebut mungkin benar atau tidak. Peranan tutor yaitu untuk membetulkan konsep yang ada pada peserta didik atau untuk membentuk konsep baru.

Pendekatan konstruktif melibatkan lima fase, seperti tutor memperkirakan pengetahuan yang sudah dimiliki peserta didik pada awal pelajaran melalui kegiatan tanya jawab atau ujian, tutor menguji ide peserta didik, tutor membimbing peserta didik menstruktur semua ide yang ada, tutor memberi peluang kepada peserta didik untuk mengaplikasikan ide baru yang telah diperoleh untuk menguji kebenarannya, dan tutor membimbing peserta didik membuat refleksi dan perbandingan ide lama dan ide baru yang telah
diperoleh.

Partisipatif andragogis adalah pendekatan yang membantu menumbuhkankerjasama dalam menemukan dan menggunakan hasi-lhasil temuannya yang berkaitan dengan lingkungan sosial, situasi pendidikan yang dapat merangsang pertumbuhan dan kesehatan individu, maupun masyarakat. Berikut perbedaan pendekatan : pedagogi dengan andragogi.


Pengembangan Lifeskills

Salah satu pendekatan untuk memposisikan peran pendidikan nonformal, khususnya program Paket A, Paket B, dan Paket C adalah melihat peran program tersebut untuk menolong individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam menjawab permasalahan yang perlu dipecahkan. Salah satu masalah adalah tidak semua lulusan sekolah melanjutkan pendidikannya ke jenjang tinggi.

Sekolah perlu mengembangkan alternatif layanan program pendidikan yang mampu memberikan keterampilan untuk hidup (life skills) bagi peserta didiknya. Mereka yang tidak dapat melanjutkan pendidikan perlu didukung kebijakan yang berbasis pada masyarakat. Orientasi adalah pada kecakapan untuk hidup (Broad- Based Education). Pendidikan dengan orientasi ini tidak mengubah sistem pendidikan, juga tidak mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup justru memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk meningkatkan potensinya. Pendidikan tersebut bahkan memberikan peluang pada anak untuk memperoleh bekal keterampilan.

Dalam hal ini, life skills memiliki makna yang lebih luas dari employability skills dan vocational skills. Keduanya merupakan bagian dari program life skills dan tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu (vocational job).

Ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti membaca , menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber-sumber daya, bekerja dalam tim atau kelompok, terus belajar di tempat bekerja, mempergunakan teknologi.

Life skills atau keterampilan hidup dalam pengertian ini mengacu pada beragam kemampuan untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat di masyarakat. Life skills merupakan kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat, kepemilikan kemampuan berfikir yang kompleks, komunikasi secara efektif , membangun kerjasama, melaksanakan peranan sebagai warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja. Karenanya, Direktorat Pendidikan Kesetaraan dalam kebijakannya selalu mengarahkan Program Paket A, Paket B dan Paket C pada kompetensi keterampilan fungsional dan kepribadian profesional sesuai kekhasan pendidikan nonformal.

Kebijakan tersebut cukup strategis untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Rendahnya persentasi daya serap angka kerja bukan semata-mata karena sempitnya lapangan kerja. Faktanya, kualifikasi lembaga pencari tenaga kerja tidak terpenuhi oleh pencari kerja. Informasi ini memberikan petunjuk bahwa masyarakat memerlukan pendidikan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia usaha/industri. Tujuannya agar jadi bekal untuk memasuki lapangan kerja atau usaha mandiri. Di samping itu, masalah kepemudaan ialah merosotnya rasa kebangsaan di kalangan pemuda. Kondisi itu sudah mengarah pada disintegrasi bangsa, penggunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas dan etos kerja yang rendah. Perlu penanganan serius untuk mengatasi masalah ini.

Sejak 2006, Direktorat Pendidikan Kesetaraan membuat Program Beasiswa Keterampilan/Kejuruan Warga Belajar Berprestasi Pendidikan Kesetaraan yang lebih diarahkan pada life skill. Tujuannya: a) peserta didik pendidikan kesetaraan yang berprestasi agar memeroleh keterampilan bermata pencaharian (employment skills/income generating skills); b) Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensinya untuk memperoleh keahlian yang dapat digunakan untuk bekerja (menambah penghasilan); c) Membantu peserta didik untuk memperoleh keterampilan bekerja sehingga meringankan beban orang tua; d) Mencegah terjadinya putus belajar karena peserta didik dapat memperoleh kemandirian.

Program tersebut bukan sematamata pelatihan tapi pemberian modal kerja dan sertifikasi dari lembaga/institusi yang terakreditasi. Jenis ketrampilan yang diajarkan disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan potensi sumberdaya lokal. Jenis keterampilan yang diajarkan antara lain pengembangan unit produksi agroindustri, pengolahan pascapanen, kursus komputer, teknik mesin, usaha jasa pariwisata, mekanik otomotif elektrik dan satpam.


Era Sekolah Rumah

Di Indonesia, Sekolah Rumah mulai tumbuh di kota-kota besar, terutama oleh mereka yang pernah melakukannya ketika berada di luar negeri. Saat ini sekolah rumah telah menjadi salah satu pilihan keluarga/orangtua. Umumnya para orang tua menilai adanya kesesuaian pendidikan bagi anak-anaknya. Lebih dari itu orang tua merasa lebih siap untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah.

Alasan untuk memutuskan mendidik anak di rumah bermacammacam. Sebut saja, untuk menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, memberikan lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik. Ada juga orang tua yang beralasan untuk menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel, memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja, NAPZA, dan pelecehan, memberikan ketrampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga dan silat. Ada pula alasan khusus yakni memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, nonscholastik yang tidak tersekatsekat oleh batasan ilmu.

Untuk perluasan akses pendidikan dasar dan menengah melalui jalur pendidikan nonfomal, Direktorat Jenderal PLS memfasilitasi terbentuknya sosiasi sekolah rumah dan pendidikan alternatif (Asah Pena). Asosiasi ini berfungsi sebagai wahana komunikasi untuk pencapaian standar pendidikan nasional, termasuk keikutsertaan dalam ujian nasional pendidikan kesetaraan. Asosiasi juga dapat melayani kalangan masyarakat dari yang menengah ke atas di perkotaan.

Dalam rangka pembinaan sekolah rumah, Direktorat Jenderal PLS mengeluarkan acuan komunitas sekolah rumah yang berisi klasifikasi sekolah rumah, tata cara pelaksanaan, dan contoh praktek kegiatan sekolah rumah.


Kapal Kunjung, Sebuah Inovasi

Guna menuntaskan wajib belajar sembilan tahun maka dilakukan layanan khusus jemput bola dengan diversifikasi layanan pendidikan kesetaraan. Untuk kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, fokus daerah sasaran diarahkan pada kawasan perbatasan di Kalimantan Barat (Kabupaten: Sambas. Bengkayang. Landak. Sanggau. Sintang. Kapuas Hulu) dan Kalimantan Timur. (Kabupaten: Kutai Barat. Malinau. Nunukan Jumlah total sasaran pendidikan kesetaraan di kawasan perbatasan adalah Paket A sebanyak 310.481 orang, Paket B sebanyak 173.624 orang, dan Paket C sebanyak 105.325 orang.

Untuk daerah pulau-pulau terpencil, baik yang terdapat di dalam kawasanperairan di dalam maupun pulau-pulau perbatasan Indonesia dengan negera tetangga, maka layanan pendidikan perlu dilakukan secara khusus. Jumlah sasaran pendidikan kesetaraan yang terdapat pada pulaupulau terpencil cukup besar. Sasaran Paket A secara keseluruhan mencapai 513.325 orang, Paket B sebesar 309.080 orang dan Paket C sebanyak 340.666 orang.

Untuk membantu pemerintah mengatasi kemiskinan, program pendidikan kesetaraan cukup strategis peranannya. Dari 199 kabupaten di Indonesia, terkonsentrasi pula jumlah sasaran pendidikan kesetaraan yang besar. Sasaran Paket A mencapai 3.317.772 orang, Paket B sebanyak 2.000.888 orang, dan Paket C sebesar 1.422.085 orang.

Karena itu, penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada daerah-daerah tersebut memerlukan sarana khusus yang dapat memperpendek jarak peserta didik dengan layanan Pendidikan Kesetaraan. Untuk itu disediakan layanan diversifikasi untuk membelajarkan peserta didik ke daerah-daerah tersebut. Layanan ini dapat berupa: kelas berjalan, kapal berlayar/kunjung, tutor kunjung dengan fasilitas motor kelas berjalan, karavan dan sebagainya.

Kapal kunjung dikembangkan untuk melayani pendidikan kesetaraan bagi warga peserta didik di daerah sekitar pesisir, permukiman di kawasan sungai, danau, waduk, rawa, daerah perpencil dan pulau terpencil. Sasaran yang dilayani adalah para nelayan, petani, transmigran dan kawasan perdesaan. Di dalam kapal kunjung tersebut secara khusus di sediakan ruangan kelas pembelajaran, perpustakaan, bengkel kerja, dan fasilitas pendukung pendidikan bagi warga belajar.

Ada pula motor pembelajaran. Fasilitas ini dikembangkan untuk melayani pendidikan kesetaraan bagi warga peserta didik di daerah perdesaan, perkotaan, pesisir, dan kawasan bencana alam. Sasaran yang dilayani adalah para nelayan, petani, transmigran, kawasan perdesaan dan perkotaan, TKI dan sebagainya.

Bus kelas berjalan dikembangkan untuk melayani pendidikan kesetaraan bagi warga peserta didik di daerah perdesaan, perkotaan, kawasan industri, dan kawasan bencana. Bus kelas berjalan tersebut dirancangbangun untuk melakukan jemput bola layanan pendidikan kesetaraan. Di dalam bus tersebut disediakan fasilitas tenda untuk pembelajaran, bengkel kerja, perpustakaan, audio visual, ICT dan pendukung lainnya.


Pembelajaran di daerah bencana

Pembelajaran di daerah bencana dengan kelas berjalan tipe mobil box merupakan layanan jemput bola. Ketika persekolahan dan fasilitasnya rusak/terganggu, layanan jemput bola merupakan alternatif untuk mengatasi masalah putus belajar. Pembelajaran keliling dilakukan sebagai bagian dalam pelayanan pemulihan, peralihan, dan penempatan di sekolah formal pada daerah bencana. Kelas keliling dengan menggunakan mobil box ini dilengkapi meja dan kursi lipat, tikar, tenda sederhana, troli taman bacaan masyarakat, buku-buku, pearalatan dapur, genset, ATK, papan tulis dan sebagainya.

Kelas keliling juga dapat digunakan untuk pelatihan keliling. Pelatihan keliling diperlukan bagi sekolah-sekolah yang memerlukan bantuan karena adanya tambahan murid dari pengungsian. Materi pelatihan berupa konseling, mengatasi trauma, pembelajaran fleksibel, dan keterampilan hidup yang sesuai dengan usia sekolah. Keterampilan hidup untuk usia dewasa diberikan dengan kursus-kursus yang sesuai dengan kebutuhan seperti boga, pertukangan, otomotif, elektronik, potong rambut. Dalam skala dan keperluan tertentu dapat dilengkapi dengan kursus bahasa Inggris dan komputer.

Dalam rangka memenuhi hak peserta didik untuk pindah jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, Direktorat Jenderal PLS menetapkan multy entry-exit system pendidikan kesetaraan melalui sistem tingkatan dan kesederajatan kompetensi yang setara dengan sistem kelas pada pendidikan formal.

Program Paket A meliputi Tingkatan 1, dengan derajat kompetensi awal setara dengan kelas 3 SD/MI. Di sini menekankan pada kemampuan literasi dan numerasi (kemahirwacanaan bahasa dan angka), sehingga peserta didik mampu berkomunikasi melalui teks secara tertulis dan lisan, baik dalam bentuk huruf maupun angka.

Tingkatan 2 dengan derajat kompetensi Dasar setara dengan kelas 6 SD/MI. Titik tekannya adalah menguasai fakta, konsep, dan data secara bertahap, sehingga peserta didik mampu berkomunikasi melalui teks secara tertulis dan lisan dengan menggunakan fenomena alam dan atau sosial sederhana secaraetis, untuk memiliki keterampilan dasar dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Program Paket B meliputi Tingkatan 3 dengan derajat kompetensi Terampil 1 setara dengan kelas 8 SMP/MTs. Penekanannya pada penguasaan dan penerapan konsep-konsep abstrak secara lebih meluas dan berlatih meningkatkan keterampilan berpikir dan bertindak logis dan etis, sehingga peserta didik mampu berkomunikasi melalui teks secara tertulis dan lisan, serta memecahkan masalah dengan menggunakan fenomena alam dan atau sosial yang lebih luas.

Tingkatan 4 dengan derajat kompetensi Terampil 2 setara dengan kelas 9 SMP/MTs. Di sini menekankan peningkatan keterampilan berpikir dan mengolah informasi serta menerapkannya untuk menghasilkan karya sederhana yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat, sehingga peserta didik mampu secara aktif mengekspresikan diri dan mengkomunikasikan karyanya melalui teks secara lisan dan tertulis berdasarkan data dan informasi yang akurat secara etis, untuk memenuhi tuntutan keterampilan dunia kerja sederhana dan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang tinggi.

Program Paket C meliputi Tingkatan 5 dengan derajat kompetensi Mahir 1 setara dengan kelas 10 SMA/MA. Pada tingkatan ini arahnya adalah pencapaian dasar-dasar kompetensi akademik dan karya serta mempersiapkan diri untuk bekerja mandiri.

Tingkat 6 dengan derajat kompetensi Mahir 2 setara dengan kelas 12 SMA/MA. Di sini diarahkan untuk pencapaian kemampuan akademik dan keterampilan fungsional secara etis. Dengan begitu peserta didik dapat bekerja mandiri atau berwirausaha, bersikap profesional, berpartisipasi aktif dan produktif dalam kehidupan masyarakat serta melanjutkan pendidikan ke jenjang tinggi.


Perpindahan Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan

Hak peserta didik untuk pindah antar jalur pendidikan. Begitu amanat UU Sisdiknas 20/2003 Pasal 12 ayat (1) butir (e). Sistem ini memungkinkan peserta didik pindah dari jalur pendidikan informal dan pendidikan formal ke jalur pendidikan nonformal atau sebaliknya.

Kurikulum pendidikan kesetaraan memungkinkan peserta didik dari pendidikan informal dan pendidikan formal pindah ke pendidikan kesetaraan melalui proses alih kredit dengan menghitung Satuan Kredit Kompetensi (SKK) yang telah dicapai oleh peserta didik. Persyaratan alih kredit mempertimbangkan daftar riwayat hidup, capaian hasil belajar berupa transkrip, daftar nilai, raport, portofolio dan sejenisnya. Apabila persyaratan belum memenuhi perlu mengikuti tes penempatan yang memberikan pengakuan terhadap pembelajaran yang diperoleh secara mandiri dari pengalaman, pelatihandan profesi.

Ketentuan untuk alih kredit ini diatur dalam Panduan yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal. Beban belajar pendidikan kesetaraan dinyatakan dalam SKK yang menunjukkan kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik dalam mengikuti program pembelajaran baik melalui tatap muka, praktek keterampilan, dan/atau kegiatan mandiri.

SKK merupakan penghargaan terhadap pencapaian kompetensi sebagai hasil belajar peserta didik dalam menguasai suatu mata pelajaran. SKK diperhitungkan untuk setiap mata pelajaran yang terdapat dalam struktur kurikulum.

Satu SKK dihitung berdasarkan pertimbangan muatan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) tiap mata pelajaran. Kemudian keseluruhan SKK untuk mencapai SKL program Paket A, Paket B, dan Paket C di distribusikan per semester.

SKK dapat digunakan untuk alih kredit kompetensi (konversi kompetensi) yang diperoleh dari jalur pendidikan informal, formal, kursus, keahlian dan kegiatan mandiri. Penentuan dan pengakuan bobot SKK hasil alih kredit memperhatikan tingkat kompetensi berdasarkan hasil belajar sebelumnya, portofolio, transkrip, sertifikat, raport, surat penghargaan, surat keterangan tentang berbagai keikut sertaan dalam pelatihan, pagelaran, pameran, lomba, olimpiade dan kegiatan unjuk prestasi lainnya.


Meningkatnya Jumlah Peserta Didik

Pendidikan kesetaraan berhasil dalam beberapa hal. Cakupannya meliputi :
1) meningkatnya jumlah peserta didik,
2) meluasnya keragaman karakteristik sasaran program,
3) meluasnya jangkauan akses pendidikan kesetaraan,
4) meningkatnya jumlah peserta dan lulusan,
5) meningkatnya rata-rata nilai hasil ujian nasional,
6) bervariasinya satuan pendidikan program Paket A, Paket B, dan Paket C,
7) berkembangnya inovasi pendidikan kesetaraan, termasuk model jemput bola dan sekolah rumah (home schooling dan e-homeschooling,
8) meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan kesetaraan akibat keterlibatan berbagai pihak (Legislatif, Selebriti, Tokoh Agama, Pegiat) dalam sosialisasi pendidikan kesetaraan.
Upaya Pemberian Layanan Pendidikan

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Anak adalah buah hati dalam setiap keluarga. Tanpa anak, keluarga akan terasa sepi, gelap, dan tanpa warna. Tak heran jika ketemu teman lama yang pertama kali terlontar adalah pertanyaan berapa anakmu sekarang? Bukan berapa mobilmu, rumahmu atau yang lainnya.

Sering terdengar ungkapan anak adalah titipan dari yang Maha Pencipta, maka peliharalah dengan sebaik-baiknya, berilah tempat yang paling baik, jadikanlah manusia yang berguna karena anak itu terlahir suci adanya seperti kertas putih. Bagaimana kertas itu menjadi penuh warna tergantung pada orang tua dan lingkungan yang akan memberi warna maupun coretan pada kertas tersebut.

Interaksi anak dengan orang tua ketika di rumah, dengan guru dan teman ketika di sekolah dan dengan tetangga atau orang lain ketika di masyarakat akan membentuk berbagai karakter dalam diri anak tersebut. Ada yang pendiam, periang, egois, peramah, cerdas, bodoh, pemurung, sosial dan sebagainya. Semua karakter-karakter ini tentunya sebagai akibat dari proses pewarnaan pada diri anak.

Pada mulanya, pengertian anak berkebutuhan khusus adalah anak cacat, baik cacat fisik maupun mental. Anak-anak yang cacat fisik sejak lahir, seperti tidak memiliki kaki atau tangan yang sempurna, buta warna, atau tuli termasuk anak berkebutuan khusus. Pengertian anak berkebutuhan khusus kemudian berkembang menjadi anak yang memiliki kebutuhan individual yang tidak bisa disamakan dengan anak yang normal. Pengertian anak berkebutuhan khusus tersebut akhirnya mencakup anak yang berbakat, anak cacat, dan anak yang mengalami kesulitan.

Selama ini cara pandang terhadap anak berkebutuhan khusus, masih negatif maka pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus juga belum dapat memperoleh hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Persamaan hak sebenarnya telah diatur dengan berbagai perangkat perundangan formal, tetapi permasalahannya tidak adanya sanksi yang jelas terhadap pelanggaran peraturan yang ada, sehingga masih banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum memperoleh haknya. Sehubungan dengan itu maka guru sebagai ujung tombak pendidikan formal perlu memberikan layanan secara optimal bagi semua siswa termasuk anak berkebutuhan khusus.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah bagaimana upaya memberikan hak-hak anak berkebutuhan khusus?

3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan upaya memberikan hak-hak anak berkebutuhan khusus.

Penyusunan makalah ini bermanfaat secara teoretis, untuk mengkaji upaya dalam memberikan hak-hak anak berkebutuhan khusus. Secara praktis, bermanfaat bagi:
(1) para pendidik untuk memperhatikan dan memberikan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus,
(2) mahasiswa agar memahami cara memberikan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus.

B. PEMBAHASAN

Always say you yes for children. Selalu berkatalah ya pada anak. Jarang didapati guru yang demikian ini. Rata-rata mereka melarang siswa-siswanya melakukan sesuatu. Contoh jangan manjat pagar nanti jatuh, jangan main api nanti terbakar dan sebagainya. Padahal siswa saat melakukan hal tersebut pada kondisi senang dengan hal baru, menemui keasyikan dan mencoba untuk belajar dari hal tersebut. Pada tarap belajar inilah nantinya akan timbul suatu kreativitas pada diri siswa tersebut. Mereka akan berhenti jika ternyata api itu panas, ataupun tidak akan melakukan lagi ketika mereka jatuh dari suatu pagar tersebut.

Larangan-larangan semacam ini tentunya dapat mematikan kreativitas siswa. Siswa akan selalu dalam lingkaran ketidaktahuan, ketakutan, tidak berani mencoba sesuatu yang baru. Namun kadang guru sendiri tidak menyadari akan hal ini. Seharusnya untuk hal-hal baru seperti diatas siswa diberi kesempatan untuk mencoba melakukan sementara guru tetap memberi pengawasan sehingga siswa dapat bereksperimen dengan aman.

Guru tidaklah selalu bersikap sebagai petugas hukum di lingkungan sekolah. Di mana biasanya guru yang membuat peraturan. Kemudian mereka pula yang memberi sanksi atau hukuman pada siswanya, jika siswa melakukan suatu kesalahan, misalnya dengan disuruh lari mengitari halaman, berdiri di depan kelas, memukul dengan sabuk atau tindakan lain yang lebih mengarah pada hukuman fisik.

Sebenarnya guru dapat bersikap lebih demokratis pada siswa, mencoba membicarakan dengan siswa hal-hal apa saja yang baik dapat mereka lakukan, mana yang baik dan mana yang tidak. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan mengklarifikasi antara hal yang baik dan yang tidak untuk kemudian disusun sebagai suatu peraturan secara bersama dan demokratis. Dalam menentukan hukuman hendaknya juga dengan sikap yang demokratis. Cobalah siswa untuk menentukan hukuman sendiri sebagai sikap pertanggungjawaban terhadap kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi.

Guru harus mampu menyediakan media untuk siswanya sebagai upaya untuk menelurkan siswa yang cerdas dan kreatif. Pernyataan tersebut selaras dengan teori teori pendekatan ekologis dan genetis yang diungkapkan oleh Spiel (1994), Oerter (1992), Scarr&Mc. Cartney (1982). Menurut pandangan mereka, perkembangan siswa selalu berupa interaksi antara bakat (genotip) dan lingkungan. Setidaknya ada tiga hasil interkasi genotip dan lingkungan (Kartono, tahun 1995:119).

Pertama, adanya hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat pasif. Hal ini timbul karena guru memberi lingkungan yang sesuai dengan bakat mereka sendiri. Misalnya guru yang gemar musik akan selalu memberikan lingkungan musik pada siswanya sehingga siswa sejak awal hidup dalam lingkunga musik tersebut.

Kedua, hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat evokatif . Hal ini timbul karena siswa dengan bakat berbeda-beda menimbulkan berbagai macam reaksi terhadap lingkungan sosialnya. Contohnya siswa masa usia sekolah sering melakukan hal-hal yang seenaknya saja sehingga menimbulkan perhatian pada orang lain yang mempengaruhi perilakunya sendiri lagi.

Ketiga, hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat aktif. Hal ini timbul karena seseorang memilih lingkungan yang cocok dengan pribadinya sendiri. Kebanyakan terjadi pada usia remaja dan sering dilakukan bersama-sama dengan pencarian identitas ego atau citra diri atau jati diri.

Terkait dengan hal di atas, ada beberapa landasaran yuridis formal yang mendasari upaya untuk memberikan hak-hak pada anak berkebutuhan khusus, diantaranya yaitu :

1. UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 tentang hak mendapat pendidikan.

2. UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pasal 3, 5 dan 32 tentang pelayanan pendidikan khusus.

3. UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 48, 49, 50, 51, 52, 53

4. UU No. 4 tahun 1997 pasal 5 tentang penyandang cacat.

5. Deklarasi Bandung (Nasional) "Indonesia menuju pendidikan inklusif" 8-14 Agustus 2004.

Sejalan dengan hal tersebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 menetapkan konfensi hak anak termasuk di dalamnya hak anak yang berkebutuhan khusus, di antaranya:

1. Dalam deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah dinyatakan bahwa masa kanak-kanak berhak memperoleh pemeliharaan dan bantuan khusus.

2. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Hak-hak anak, "anak karena tidak memiliki kematangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran."

3. Di semua negara bagian di dunia, ada anak-anak yang hidup dalam keadaan yang sulit, dan bahwa anak-anak seperti itu membutuhkan perhatian khusus.

Menurut Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan pemerintah (Suyanto, 2005:225) oleh karena itu upaya untuk memberikan pelayanan kepada anak yang berkebutuhan khusus hendaknya melibatkan :
(1) kerja sama dengan orang tua,
(2) kerja sama antara guru,
(3) kerja sama organisasi profesional,
(4) kerja sama dengan masyarakat.

Dari berbagai upaya di atas diharapkan anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan khusus sesuai dengan hak-haknya. Sehingga anak tidak akan kehilangan hak-haknya untuk mengembangkan potensi secara optimal. Dengan demikian anak berkebutuhan khusus dapat mengembangkan potensinya seperti anak-anak lain untuk membekali hidupnya serta dapat bermanfaat bagi dirinya, lingkungan, dan masyarakat.

C. PENUTUP

1. Simpulan

Anak berkebutuhan khusus hendaknya memperoleh pelayanan secara khusus. Apapun upaya untuk memberikan pelayanan kepada anak-anak berkebutuhan khusus di antaranya:
(1) menindaklanjuti landasan yuridis,
(2) menindaklanjuti Konvensi hak anak,
(3) Melakukan kerjasama dengan orang tua, guru, organisasi profesional, dan masyarakat.

2. Saran

Pentingnya pelayanan pada anak berkebutuhan khusus hendaknya para guru mampu memberikan layanan secara khusus pada anak-anak yang membutuhkan sehingga anak-anak tersebut tidak kehilangan hak-haknya. DAFTAR PUSTAKA

Kartono Kartini, 1995. Psikologi Anak. Bandung, Mandar Maju.

Sularto St, 2003. Seandainya Aku Bukan Anakmu. Jakarta, Buku Kompas.

Suyanto Slamet, 2005. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta, Hikayat.

Suparno, 2007. Pendidikan anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta, Dirjen Dikti Depdiknas
Pendidikan Anti Korupsi


Demokrasi menjadi tidak semanis kembang gula. Ketika tatanan hukum dan sistem pendidikan terpisah dari rangkaiannya. Pendidikan anti korupsi diperlukan sebagai bagian integral untuk meluruskan demokrasi yang mengalami disfungsi. Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia terbitan Media Center diartikan sebagai hal atau keadaan tidak berfungsinya sesuatu secara wajar. Cita-cita luhur universal demokrasi adalah memberikan ruang kebebasan bagi setiap manusia untuk mendapatkan hak-hak kemanusiaannya itu sendiri.

Melihat kekacauan -dalam pengertian berjalannya sistem negara- maka menurut beberapa penelitian, Indonesia memang rentan mengalami gangguan atau distorsi. Dalam sebuah masyarakat majemuk, demokrasi dan nasionalisme memang sering menjadi sebuah dilema. Tuntutan-tuntutan demokratissai yang idealnya memperkuat nasionalisme, realitasnya juga memunculkan konflik-koflik etnis yang bisa membahayakan demokratisasi itu sendiri, yang bukan tidak mungkin lalu atas nama negara kebangsaan malah melahirkan pemerintahan otoriter baik sipil atau militer (Larry Diamond & Marc F.Platner, terjemahan "nasionalisme, konflik etnis dan demokrasi, ITB Press,1998)

Seorang Mohamad Hatta lebih dari setengah abad yang lalu mengatakan, korupsi ini adalah penyakit sosial yang membudaya ditengah kehidupan masyarakat Indonesia. Merujuk A. Mukti Fadjar sebagaimana penelitian Donald L. Horowitz mengenai demokrasi pada masyarakat majemukmenunjukkan bahwa demokrasi dan demokratisasi dapat mengalami kegagalan karena berbagai alasan seperti perlawanan dari kaum sipil atau militer yang terserobot , tiadanya kondisi sosial atau budaya kondusif, lembaga yang dirancang secara tidak tepat, dan pada banyak negara di Afrika, Asia, dan Eropa Timur adalah konflik etnis.

Kemudian tidak terlalu salah kiranya jika pada perayaan kemerdekaan di bulan Agustus ini kita instropeksi diri. Ternyata lebih tepat jika bangsa ini masih disebut sebagai bangsa parasit. Masyarakat masih terlalu mudah diadu domba hingga melahirkan kerusuhan. Sikap kita masih sering mencurigai keberadaan kelompok masyarakat yang lain. Bahkan, kita tidak ambil peduli ketika gelombang ribuan pengungsi yang harus meninggalkan tempat hidupnya karena konflik.

Dorongan untuk menegakkan demokrasi dan civil society ini harus dimulai dari gerakan yang sungguh-sungguh untuk memerangi korupsi maupun suap. Lembaga pemerintah anti korupsi tidak bisa berjalan dengan keterbatasannya yang disebabkan dibawah subordinasi kekukasaan. Negara ini harus benar-benar mebentuk tim yang independen untuk memberantas korupsi. Bahkan kalau perlu memeriksa seorang presidenpun bukannya sebatas pada Gubernur ataupun pembantu presiden saja. Termasuk kepala kepolisian.

Kita dapat belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain yang secara serius melakukan hal ini. Contohnya badan anti korupsi yang terkemuka dinegara-negara berkembang yaitu ICAC (independent Commision Againts Corruption ) di Hongkong. Dalam buku "Membasmi korupsi " karya Robert Klitgaard (2001:130) dapat ditelusuri mengapa dan bagaimana ICAC didirikan, dan bagaimana ICAC mencapai sukses dalam membersihkan korupsi dijajaran kepolisian Hongkong. Sebagaimana di Indonesia, banyak orang Hongkong yakin bahwa korupsi itu berurat -akar dalam kebudayaan Cina di Hongkong. Ada yang menarik kesimpulan fatalistik, dengan mengatakan bahwa usaha-usaha untuk mengurangi krupsi itu akan sia-sia. Kaum pesimistik dapat dengan mudah mengutip berbagai catatan kegagalan kampanye anti korupsi di masalalu.

Namun pada tahun 1971 pemerintah Hongkong meloloskan sebuah undang-undang pencegahan suap yang brilian. Undang-undang itu memperluas kategori-kategori pelanggaran. Bagi mereka yang dicurigai, kekayaan pribadinya melampaui pendapatan, atau yang menikmati tingkat hidup diluar apa yang dimungkinkan oleh penghasilan, beban pembuktiannya beralih: mereka harus bisa membuktikan diri tidak bersalah. "Dalam setiap tuntutan terhadap seorang karena pelanggaran menurut undang-undang ini, beban memberikan pembelaan yang sah atau dalih yang dapat diterima terletak dipihak tertuduh."(2001:139) Pendek kata ini merupakan pembalikkan dari asas praduga tak bersalah yang lazim digunakan seperti di Indonesia. Mampukah kita menata hukum kita demikian? Tentunya kita masih harus mengkorelasikan antara pendidikan anti suap dengan sistem hukum nasional.

Pelaksanaan pemilu 2004 yang dilangsungkan secara aman dan relatif lebih baik daripada pemilu masa lampau belum memberikan arti apa-apa jika tidak diikuti dengan kemauan mengkoreksi tatanan hukum nasional. Menarik sekali mencermati apa yang dikatakan oleh Satjito Rahardjo (1990-1), bahwa Negara Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum (NBHI) adalah suatu bangunan yang belum selesai disusun dan masih dalam proses pembentukannya yang intensif". Pertanyaannya adalah beranikah para anggota DPR beserta DPD yang terpilih merumuskan tatanan baru yang lebih kondusif?

Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Demokrasi dinegara ini masih teramat rapuh. Ketamakan politisi sipil telah mengalihkan fungsi legilatif dari yang sepatutnya. Pembahasan undang-undang dan sebagainya tidak mencerminkan adanya perubahan mendasar. Sehingga kasus-kasus kudeta terselubung terhadap demokrasi mudah saja terjadi. Coba lihat kasus impor gula. Ternyata dibalik regulasi atau kebijakan yang seakan-akan memihak pada rakyat, penguasa negara sendiri yang melakukan kejahatan. Belum lagi kasus pemanfaatan aparatur hukum sebagai bidak-bidak catur politik untuk melanggengkan kekuasaan. Aparat negara negara yang berselingkuh dengan kepentingan politik tentunya karena mendapat imbal suap.
Kemandirian Pendidik Nasional Melalui Research


Sebuah re-search merupakan modal dasar bagi siapa saja yang ingin mengutarakan suatu temuan baru ataupun pengembangan temuan yang sudah berjalan dan sudah distrukturkan menjadi sebuah sistem secara benar menurut rasionalitas maupun materialis ataupun sebuah dilalektis yang menuntut fleksibilitas sistem maupun struktur.

Keberanian, rasa ingin tahu tinggi, objektif walau menentang arus, jujur adalah beberapa hal yang perlu dimiliki oleh orang tersebut. Dari referensi - referensi, artikel - artikel serta buku tentang pendidikan belum begitu terbarukan. Sebuah perkembangan ilmu dan tehnologi yang menafikan absolutisme dan penuh kompetisi dan evolutif belum tampak.

Sudah menjadi persamaan persepsi bahwa pendidikan dengan sistem dan undang - undangnya mengakui bahwa pendidikan adalah basic pembentukan kepribadian seorang manusia. Institusi pendidikan adalah satu tempat yang diserahi tanggung jawab untuk itu. Dalam UU sisdiknas bahkan meletakkan standar - standar yang menyangkut manajemen, pengelolaan keuangan, dan sebagaianya walau tak lebih bahwa pemerintah masih dalam ketakutan ketidakmampuan satuan pendidikan untuk meluluskan siswa yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Tehnologi berupa metode bukan elektronik learning, Pendidikan mengalami perkembangan ditingkat global. Ini adalah hasil dari think and re-think yang tentunya menjadi jiwa seorang peneliti pendidikan. Selama ini pelaku pendidikan hanya mampu mengadopsi pemikiran barat yang tentunya belum tentu sama bila diaplikasikan dalam pendidikan tanah air. Sudah menjadi maklum bahwa apa yang mendasari pemikiran mereka adalah optimalisasi kebenaran dengan akal. Radical behavirosisme, constructivisme, post modernisme, adalah buah karya orang barat. Dimanakah Abraham Maslow Indonesia, B.F Skinner Indonesia, dan yang lainnya.

Ataukah dalam ketakutan menjadikan akal menjadikan raja dalam membentuk sebuah sistem bahkan mengeluarkan hipotesa?. Inilah yang hilang dan tidak ditanamkan dalam siswa bahkan pendidik indonesia. Namun tidak dipungkiri dalam sejarah ilmu inilah fakta. Biarlah agama berinstropeksi dan melakukan kajian ulang akan kekuasaan akal ini. Bukan berarti agama salah, sebuah psikologi terbaru yakni transpersonal psikology menemukan bukti terbaru bahwa manusia maklhuk yang memiliki keinginan untuk menjadi baik, berkeadilan, memiliki rasa kasih sayang dan sebagainya atau god spot. Sebuah buku karya seorang pemikir islam di Iran Syekh Muhammad Baqir As sadr flsafatuna dan Ulama Murtodha Mutahari melalui bukunya manusia dan agama begitu dalam telah menjunjung akal namun bukan memposisikan sebagai tuhan.

Karya tulis dan karya ilmiah lainnya yang dalam sertifikasi profesi ditekankan malah menjadi hantu yang menakutkan karena dituntut untuk berfikir yang sistematis, logis, dan mampu digeneralisir hasilnya agar applicable dan mendukung perkembangan dunia pendidikan Indonesia. Bagaimana efektifitas metode mengajar yang baik dan efisien yang berdasarkan aplikasi teori yang ada serta kontekstual harus ditampilkan dalam sebuah artikel sehingga memuat ketidakberhasilan sebuah teori beserta hipotesis dilontarkan lalu mengkaji ulang dengan teori terbaru, dan apabila belum ditemukan itulah wujud hasil research berupa penemuan terbaru yang kontekstual.

Bukan hanya untuk metode mengajar melainkan semua hal yang menyangkut pendidikan membutuhkan re-search yang mendalam. Sehingga diharapkan memunculkan potensi yang dimiliki oelh pendidik indonesia. Situs resmi pemerintah seharusnya ada dan tidak komersial. Semua orang bisa mengakses dan memuat hasil karyanya yang tentunya memenuhi standar. Serta menampilkan hasil - hasil re search supaya dapat diaplikasikan ataupun dikembangkan.Keterbukaan informasi akan menjadikan lebih cepatnya perkembangan didunia pendidikan.
PENDIDIKAN KONTEKSTUAL


Lihatlah berbagai persoalan yang kerap diseru oleh para praktisi pendidikan; dari mulai sekolah mahal, kesenjangan kualitas pendidikan di kota besar dan kecil akibat tidak adanya standarisasi antara kualitas ajar, keterbatasan bahan ajar, penghasilan guru yang pas-pas-an hingga bangunan sekolah yang tidak layak huni. Di kota besarpun walau terlihat lebih terfasilitasi tetap terganjal persoalan mahalnya cost yang dikeluarkan agar anak dapat mengecap sekolah bermutu. Walau definisi sekolah bermutupun belum jelas pula. Biasanya lebih terkait dengan fasilitas fisik bangunan, latar pendidikan guru, dan metoda atau acuan kurikulum yang digunakan.

Setiap kali mengikuti kegiatan seminar, para guru yang datang dari penjuru Indonesia kerapkali mengeluhkan bagaimana mungkin mereka mampu menyamai Jakarta dalam menghasilkan anak didik yang bermutu. Anak didik bermutu adalah terkait dengan siswa yang berhasil masuk universitas negeri, mendapat beasiswa melanjutkan pendidikan ke luar negeri, terampil berbahasa inggris dan setelah lulus mendapat pekerjaan di perusahaan besar, perusahaan asing atau minimal BUMN. Demikian opini yang terbangun dalam benak mereka. Sama sekali tidak salah kalau memang ada yang mampu menjalani mekanisme demikian. Tapi kalau kemudian hal itu dijadikan standard yang harus dicapai setiap orang, tentu menjadi salah kaprah. Konsep keberhasilan sangat luas dan mendalam, tidak bisa dikerutkan hanya pada capaian jangka pendek seperti itu. Setiap sekolah harusnya punya punya kepercayaan diri yang kuat untuk membangun konsep tersendiri dalam menjalankan fungsi akademisnya. Tidak hanya sekedar meniru sesuatu hal yang belum tentu pas dengan kondisi dan kemampuan yang dimiliki saat ini.

Sekolah di daerah sekarang berlomba untuk membangun sekolah internasional, sekolah terpadu atau minimal nasional plus dengan mengutip biaya yang tidak sedikit. Sekali lagi tidak ada yang salah dengan pilihan demikian. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak terakomodir dalam sistem itu? Apakah kemudian menjadi prediksi suramnya masa depan seseorang? Yang lebih mengkhawatirkan bila rasa "gagal" tidak terakomodir dalam sekolah mahal itu kemudian menumbuhkan agresivitas aktif maupun pasif; dari yang ekstrem berupa kenakalan remaja, demonstrasi yang destruktif hingga yang lebih mendasar berupa rasa minder, menyalahkan keadaan yang tidak mendukung hingga menghujat Tuhan. Heemm.

Lebih mengenaskan kalau ini juga berdampak pada para pendidik. Apabila seorang guru tidak punya konsep atau visi yang kuat mengenai arti pendidikan dan tujuannya, mereka juga akan mudah terbawa pada pandangan mengenai tujuan pragmatis pendidikan. Tidak terakomodir dalam sistem yang dipandang sebagai stándar keberhasilan membuat para guru pesimis terhadap masa depan anak didiknya maupun dirinya sendiri. Pola pikir seperti itu tentu akan mempengaruhi perlakuan atau cara seorang guru dalam menangani anak didiknya. Perasaan tersisih, gagal, tidak bermasa depan, minder akan mewarnai sikap seseorang dalam menghadapi persoalan. Seolah pintu sudah tertutup, tiada celah untuk memperbaiki masa depan. Akibatnya? Mencari kambing hitam, adalah defense mechanism yang lazim dilakukan seseorang yang merasa tertekan. Tertekan oleh apa? Oleh beban pikirannya sendiri, tentu. Hal ini bisa dilihat bila dalam suatu kongres atau seminar ada wacana baru yang dihadirkan sebagai alternatif pendekatan pengajaran, para guru akan berkeluh-kesah dulu kemudian menuntut pembicara untuk segera membuat juklak yang langsung bisa dipraktekkan di tempat masing-masing. Mereka sudah lama terbiasa menjadi operator kurikulum, sehingga wacana baru tidak cukup menggairahkan mereka untuk berbuat sesuatu yang baru.

Membangun visi para pendidik

Kalau disoal elemen apakah yang paling crucial untuk dibenahi, tiada lain adalah guru sebagai elemen yang paling utama. Kurikulum sekalipun hanyalah alat yang dibuat oleh manusia, ia akan menjadi sesuatu yang hidup tergantung oleh yang menyampaikannya. Menurut saya pribadi yang harus segera dibenahi adalah mengkonstruk struktur berpikir para guru mengenai pendidikan. Hal ini menjadi penting agar kita tidak mudah putus asa dan mendorong kita agar berkreativitas dengan sumber daya yang kita miliki saat ini. Saya amati, di Jakarta sekalipun, banayak sekolah kebingungan untuk mengadopsi metoda yang tepat. Bahkan ada sekolah yang mengadopsi beberapa metoda sekaligus tanpa memahami esensi atau key-point dari masing-masing metoda tersebut, sehingga prakteknya tetap tidak terlihat sesuatu yang istimewa. Menariknya ada sekolah dasar dan taman kanak-kanak yang mengklaim berbasis active learning tapi juga menggunakan pojok montessori, sekaligus multiple intellegences, dengan preferences agama tertentu. Belum lagi program-program tambahan lainnya. Ffuuih...seperti hyper-market saja layaknya. Semua ada. Prakteknya? Belum tentu sesuai dengan yang diharapkan. Pokoknya semakin lengkap program atau metoda, maka semakin menyakinkan untuk disebut sekolah bermutu, itu opini kebanyakan orangtua murid. Sekolah seperti ini biasa disebut sekolah terpadu, nasional plus atau berwawasan internasional:p

Kalau masing-masing kita ditanya arti pendidikan dan tujuannya, mungkin kita akan menarik garis tegas antara tataran konsep dan praktisnya. Konsep boleh setinggi langit. Tapi tetap yang menjadi capaian adalah target jangka pendek. Seperti misalnya, anak TK harus belajar calistung agar dapat masuk SD favorit, demikian pula di tahapan selanjutnya bagaimana agar siswa didik dapat melewati satu fase dan menempuh fase berikutnya. Akibatnya guru seringkali terfokus hanya dengan bagaimana caranya menyampaikan materi sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bagi yang minat akademisnya tinggi didukung kemampuan mencerap / mengimitasi yang tinggi tentu tidak terlalu menjadi problem. Mereka dapat dengan mulus melampaui apa yang diharapkan dalam target materi. Yang dikhawatirkan bila pola 'menyuapi' seperti ini dibiasakan, maka anak didik akan kehilangan inisiatif, mereka hanya terbiasa meniru dan bekerja berdasar instruksi. Didikte. Tidak perduli apakah yang mereka kerjakan memiliki kontribusi bagi masyarakat sekitar atau tidak. Fenomena ini sangat rentan melahirkan pribadi egois, individualistis.

Problem menjadi lebih hebat bila anak didik tidak mampu mengikuti standard tersebut. Akibatnya guru dengan mudah melabeli anak dengan sebutan tertentu dan mengirim anak pada psikolog atau guru BP. Bahkan bagi guru yang lugu, mereka akan dengan mudah menyebut anak didik mereka ber-IQ rendah. Mengenaskan sekali, sudah miskin, tinggal di desa IDT yang terbelakang, kemudian dianugerahi otak yang bodoh pula. Itu keluhan para pengajar di daerah. Tapi menariknya dengan kondisi yang serba terbatas demikian, toh mereka tetap mampu berdikari, dapat bertahan hidup, beranak-pinak membangun keluarga turun temurun. Pasti ada kecerdasan tertentu yang diberikan alam sehingga mereka dapat bertahan. Kalau mereka bodoh pasti kelompok mereka sudah lenyap dari muka bumi. yang menjadi masalah mungkin adalah cara penyampaian yang tidak tepat bagi komunitas tertentu. Guru cenderung menyampaikan sesuatu sesuai dengan pengalaman yang ia terima, ia kemudian hanya melakukan pengulangan. Mengimitasi dari pola yang telah ia pelajari. Tentu akan terjadi banyak benturan bila fokus kita hanyalah pada metoda tertentu, hanya berbasis pada pola pengajaran yang pernah kita terima semasa sekolah dulu. Tanpa didukung oleh visi yang jelas dan kuat yang terinternalisasi didalam diri, kita akan mudah terjebak pada penghitam-putihan. Tidak terbangun motivasi atau inspirasi untuk mengkreasi suatu hal yang baru. Kita terbiasa berpikir linier; bila tidak A, maka gagal. Bukannya bila tidak A maka ada B, C, dst, sebagai ciri orang yang mampu berpikir lateral atau kompleks.

Saya sendiri tidak mau berkutat dengan persoalan mendefinisi arti dan tujuan pendidikan. Setiap orang harus mampu membangun visi tersebut dalam dirinya masing-masing. Kalaupun ada tokoh atau instansi tertentu yang mampu menelorkan visi yang bernas mengenai pendidikan, tetap menjadi kerja berat dalam mensosialisasikannya agar berbuah menjadi tindak laku nyata, tidak sekedar menjadi slogan semata. Bagi saya pribadi, konsep pendidikan yang terpahami adalah bahwa setiap orang dilahirkan dengan membawa talenta dari Tuhan. Tugas pendidik adalah mencari cara dalam mendidik yang tepat agar dapat memancing talenta tersebut, mengasahnya agar dapat memberikan manfaat bagi umat. Talenta dimaksud tentu luas sekali, tidak terbatas dengan produk yang kita kenal sekarang. Kita harus berangkat pada pemikiran bahwa anak didik kita membawa sesuatu yang belum kita kenali. Namun tetap ada clue yang secara umum bisa kita tengarai, yaitu lingkungan dimana ia tinggal dan dibesarkan sebagai salah satu aspek penting dalam mengenali jati diri pribadi.
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.

Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.

Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.

Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah.

Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan amsuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.

Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.

Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.

Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:

Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.

Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.

Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.

Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.

Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.

2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.

3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.

4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.

5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.

Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.

Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.
BEDA GURU SEKOLAH NEGERI,
SEKOLAH SWASTA,
DAN BIMBINGAN BELAJAR




Guru merupakan ujung tombak keberhasilan suatu sistem pendidikan. Bagaimanapun sistem pendidikannya, jika guru kurang siap melaksanakannya tetap saja hasilnya sama "jelek". Sistem KBK yang diterapkan saat ini, sebetulnya sudah diterapkan di sekolah swasta yang ekonomi siswanya menengah ke atas. KBK suskses di sekolah swasta karena mereka berani memberikan kesejahteraan guru yang lebih baik dan fasilitas yang lengkap dibandingkan sekolah negeri, setidaknya ini juga disampaikan oleh Pak Said, bahwa sebetulnya yang sangat mempengaruhi kualitas guru adalah kondisi sosial guru. Renungkanlah kalimat yang diucapkan salah seorang guru besar Universiti Kebangsaan Malaysia saat melawat ke Jakarta "Di Indonesia sebetulnya gurunya pintar-pintar jika dibandingkan dengan Malaysia, lalu kenapa pendidikan disana lebih maju pesat, karena kami saat mengajar dalam benak kami tidak punya pikiran aduh gimana besok, sehingga kami benar-benar bekerja keras untuk pendidikan", kira-kira itulah sari kalimat yang disampaikan nya. Jadi, jika kita simak maksud kalimat saat mengajar dalam benak kami tidak punya pikiran "aduh gimana besok", saya yakin maksudnya bahwa agar guru mengajar dengan optinal di kelas, sebaiknya guru diberikan kenyamanan dalam hal kondisi sosialnya.

Di sekolah swasta yang bonafit, guru benar-benar dikontrol kualitasnya dengan berbagai program yang diadakan yayasan demi menjaga kualitas sekolah tersebut dan kepercayaan dari orang tua murid, sehingga hasilnya pun sangat memuaskan. Bukti sederhana bagaimana hasil didikan sekolah-sekolah swasta adalah prestasi siswa mereka di Olimpiade Sains tingkat Nasional dan Internasional. Misalnya, SMA Xaverius Palembang, SMA IPEKA Medan, dan SMA Aloysius Bandung, SMA BPK Penabur.

Guru di PNS (sekolah Negeri), sudah terlanjur terjebak oleh kalimat pahlawan tanpa pamrih, sehingga akibatnya posisi guru di masyarakat, bahkan di kalangan pejabat terasa terpinggirkan dan tersisihkan. Pemalsuan ijazah oleh caleg merupakan salah satu indikasi bahwa posisi guru diremehkan. Saat guru berpikir bahwa yang dilakukannya adalah hanya semata-mata ibadah, lalu godaan pun datang seperti siswa melecehkannya karena merasa "saya punya uang lebih", atau orang tua yang punya jabatan 'wah", seenaknya memaki guru oleh karena anaknya didisiplinkan, atau orang tua ingin anaknya punya rangking, sehingga mengembel-embel hadiah yang menjanjikan". Godaan itu, menjadi hal yang wajar dalam wajah pendidikan Indonesia, yang akhirnya menyeret keterpurukan bagsa ini. Bagi guru yang berkualitas, godaan tersebut seharusnya bisa ditolak, tapi malah ada juga guru yang marah ke siswa karena siswa tidak memberi hadiah saat kenaikan kelas.

Mungkin Pa Said lupa, mengapa banyak guru kurang optimal mengajar di kelas?. Cobalah simak bagaimana sekeksi guru PNS. Mengandalkan Akta IV yang dipunyai calon, calon guru hanya diuji tes tertulis, kemudian wawancara. Lalu apakan diuji cara mengajar atau meyampaikan materi pelajaran?. Ini juga salah satu kelemahan sistem seleksi guru kita di Indonesia (PNS), yang membuat guru mengajar kurang optimal, kita terlalu percaya bahwa yang punya Akta IV bisa mengajar, saya yakin tidak semua?. Kita patut puji Diknas Sukabumi, karena sistem seleksi guru di Sukabumi telah menerapkan hal tersebut. Dan ini pula, yang mengakibatkan kualitas guru di bimbel dengan guru sekolah timpang dalam hal menyampaikan materi.

Lalu bagaimana kualitas guru di sekolah dan di bimbel? Tulisan Sanita (HU PR Selasa, 04/05/04) yang berjudul "Bisakah sistem bimbel diterapkan di sekolah" merupakan ide yang cemerlang, tapi tidak semua betul. Beberapa hal yang mebedakan kuaitas guru di bimbel lebih baik dalam hal menyampaikan materi adalah sebagai berikut.

1. Seleksi guru. Di bimbel, sudah tentu syaratnya harus lulusan PTN, karena dia harus jadi panutan bagaimana siswa menembus PTN, tapi guru PNS tentu tidak hanya lulusan PTN. Selain harus lulus ujian tertulis, calon guru bimbel pun harus menyampaikan cara mengajar yang baik, setelah lulus 2 hal tersebut, biasanya guru diuji coba selama satu bulan, kemudian dinilai oleh siswa melalui angket tertulis, laliu dipertimbangkan untuk mengajar tetap di bimbel tersebut atau tidak sama sekali.

2. Pembinaan guru. Minimalnya setahun sekali, guru-guru bimbel diberikan penyegaran oleh pengajar senior setempat (tentu kualitas keilmuan dan mengajarnya sangat baik). Hal ini dilakukan di Bimbel, tapi guru-guru sekolah melalui Diknas mendapatkan penyeegaran tidak sesering itu.

3. Kesejahteraan guru. Tanyakanlah pada guru-guru yang sudah mengajar di bimbel 5 tahun ke atas. Saya yakin gajinya di atas 2 juta sebulan (meskipun tidak semua), bagaimana di sekolah?. Tetapi, meskipun gaji guru di sekolah tidak lebih sampai 2 juta, guru sekolah punya jaminan kesehatan, tunjangan pensiun, tunjangan dapur, tetapi umumnya di bimbel tidak ada.

4. Fasilitas. Siapa yang tidak senang belajar dengan suasana nyaman, dengan AC, absensi dengan komputer, atau bahkan belajar dengan multimedia, tulisan pengajarnya bagus dan warna-warni (dengan spidol).

5. Guru entertainer. Hal ini yang sulit dimiliki guru, rasa tertekan oleh kondisi social membuat guru sekolah hampir praktis tidak punya rasa entertainer, misal humor, hiburan. Tapi tidak sedikit guru yang memiliki hal itu disekolah. Alasan saya saat SMA menyukai fisika atau kumia, karena guru fisikanya selalu bernyanyi saat siswa menulis, atau guru kimia selalu humor di tengahsiswa serius. Di bimbel sikap entertainer sudah menajdi tuntukan jika tidak ingin kalah bersaing. Keramahan juga merupakan sikap entertainer guru, sehingga guru bimbel selalu bersedia ditanya masalah pelajaran kapanpun.

6. Evaluasi belajar yang rapih. Sistem evaluasi dengan dengan komputerisasi, sehingga siswa dapat dievaluasi kelemahannya di materi atau pelajaran apa, umumnya dilakukan di bimbel.

Namun, tidak semua sistem di bimbel lebih bagus, bahkan banyak hal sistem disekolah lebih bagus. Sistem bimbel pun sulit diterapkan di pelosok, apalagi jika anggaranya terbatas. Keunggulan sekolah dibandingkan bimbel dapat dilihat dari beberapa berikut ini:

1. Di bimbel yang diajarkan hampir bersifat praktis, rata-rata bukanlah konsep dasar, bahkan adakalanya guru bimbel mengajarkan cara cepat yang tidak logis atau tidak dterangkan rumus cepat itu dari mnana. Di sekolah, sudah pasti yang diajarkan konsep dasar (keilmuan dasar), karena hal itu tuntutan kurikulum dari DIKNAS. Sehingga beban guru sekolah sebetulnya lebih berat. Tapi tidak sedikit guru bimbel yang mengajarkan konsep dasar. Guru sekolah, yang juga mengajar di bimbel, biasanya sering mengkombinasikan hal ini, konsep dasar diajarkan dan carac cepat pun diberikan. Guru ini biasanya menajdi favorit di sekolah

2. Di sekolah punya guru BP, tempat siswa curhat. Sayang, hal ini belum dioptimalkan oleh siswa. Namun saat ini, ada juga bimbel yang mengadakan konsultasi mental dalam mengahadapi ujian, sampai mendatangkan pakar otak kanan agar lebih menarik siswa, meskipun bayarannya lebih mahal.

3. Wibawa guru di sekolah sebetulnya lebih besar, siswa lebih segan pada guru sekolah. Tapi bandingkan di Bimbel, tidak sedikit siswa yang seenaknya melecehkan guru, terutama siswa kelas 2, tapi itupun tergantung pendekatan gurunya.

Era globalisasi di Indonesia sudah mulai, jadi Guru berkualitas pun sudah merupakan tuntutan dalam pendidikan nasional. Lalu seperti apa guru berkualitas itu? Tentu yang mengajarnya dimengerti siswa, wawasan keilmuannya baik, suri tauladan bagi pendidikan moral siswanya, dan punya keinginan untuk meng-up grade dirinya, dan totalitas bagi pendidikan. Jika melihat dari permasalah-permasalan yang ada, tentu meningkatkan kulitas guru di sekolah bukan hal yang mudah, tetapi saya punya beberapa pemikiran untuk hal tersebut.

1. Kesejahteraan guru sudah menjadi hal yang wajib untuk diperhatikan, agar posisi tawar guru lebih besar dalam tatanan republik ini. Artinya, jika suatu waktu ekonomi Indonesia membaik, wajar jika guru ditingkatkan kesejahteraanya. Di Negara-negara yang pendidikan maju seperti Jepang, Malaysia atau Singapura gaji guru lebih utama di bandingkan pegawai lain.

2. Dalam penyeleksian Guru hendaknya selalu diuji bagaimana guru menyampaikan materi pelajaran ke siswa, jika memang kurang baik mengajarnya, meskipun tes tertulis lulus lebih baik digagalkan. Atau, jika seleksi dosen ada tes psikotes, mengapa pada seleksi guru tidak dilakukan.

3. Sertifikasi guru dan pembinaan guru perlu dilakukan secara rutin, terutama bagi pengajar baru atau pengajar lama yang memang banyak dikeluhkan oleh siswa kurang baik mengajarnya. Pemerintah dalam hal ini Depdiknas harus tegar, jika guru tersebut tidak bisa mengajar, lebih baik dipindahkan di bagian lain. Jadi, Depdikas sebaiknya memiliki seksi yang memonitoring kualitas guru.

4. Fasilitas sangat mendukung keberhasilan sistem pendidikan. Jika Pemerintah serius terhadap pendidikan, maka fasilitas harus diperbaiki. Untuk halk ini, Pemerintah harus menganggarkan lebih banyak dalam APBN Pendidikan, karena masih banyak sekolah yang tidak layak pakai.

5. Reformasi 3 hal di atas, tentu memerlukan anggaran dana, oleh karena itu Pemerintah bersama legislatif harus berjuang keras agar APBN pendidikan ditingkatkan di atas 20 %.

Pengalaman saya menangani siswa SMA selama 10 tahun, bagaimanapun jenis kepandaian siswa, jika pendekatan dari gurunya benar, kemungkinan keberhasilan siswa sangat besar. Siswa SD, SMP, dan SMA sangat sekali tergantung pada guru. Jika gurunya menyenagkan, maka siswa itu akan sukan pada pelajaran yang gurunya menyenagkan. Faktor ini merupakan salah satu yang memepengaruhi siswa dalam memilih jurusan di Perguruan Tinggi (PT). Hingga saat ini, saya sangat suka kimia, sehingga saya dipercayakan menjadi dosen yang memegang kimi jurusan saya, hal ini dikarenakan guru-guru kimia saya saat kelas 1 hingga kelas 3 SMA menyenangkan, dan lulusan SMA saya umumnya memilih jurusan yang banyak kimianya di PT. Saya yakin kecendurungan ini juga terjadi di sekolah lain, namun berbeda dengan di PT, idealisme mahasiswa lebih menentukan apa yang harus dia pilih. Mengingat hal di atas, maka Guru merupakan ujung tanduk di sekolah, jika gurunya berkualitas maka siswanya pun senang, tidak gentar hadapi UAN, bahkan SPMB sekalipun.
Penelitian Tindakan Kelas Meningkatkan Kualitas KBM


Guru merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan. Keberhasilan suatu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari peran guru. Guru harus senantiasa didorong untuk mampu mengembangkan dirinya sendiri untuk mencapai tingkat kualitas tertentu, mempertahankan dan memelihara kualitas itu dalam bentuk penjaminan kualitas, untuk senantiasa melakukan upaya peningkatan kualitas kerjanya secara berkelanjutan. Kualitas kinerja professional seorang guru tidak hanya sebatas menguasai bahan ajar dan menerapkan metode pembelajaran yang baik. Lebih dari itu, guru harus memahami keadaan dan kebutuhan peserta didik yang unik dan bervariasi antara siswa yang satu dengan yang lainnya dan selalu berkembang dengan cepat dan sulit untuk diperkirakan sebelumnya. Pendekatan kearah pencapaian kualitas guru seperti itu akan berhasil melalui metode penelitian tindakan kelas (PTK) atau classroom action research (CAR). Dalam pendekatan ini, guru senantiasa berusaha untuk mengintegrasikan ilmu ke dalam praktek, baik ilmu tentang bahan yang diajarkan, maupun ilmu tentang bagaimana mengajar, dan bagaimana bergaul dengan peserta didik. Dengan demikian, dia akan menjadi guru peneliti yang reflektif (reflective teacher - researcher).

Menurut Budi Susetyo, Sistematika Proposal Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebagai berikut :

1. JUDUL

Judul PTK hendaknya dinyatakan dengan akurat dan padat permasalahan serta bentuk tindakan yang dilakukan peneliti sebagai upaya pemecahan masalah. Formulasi judul hendaknya singkat, jelas, dan sederhana namun secara tersirat telah menampilkan sosok PTK bukan sosok penelitian formal.

2. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam latar belakang permasalahan ini hendaknya diuraikan urgensi penanganan permasalahan yang diajukan itu melalui PTK. Untuk itu, harus ditunjukkkan fakta - fakta yang mendukung, baik yang berasal dari pengamatan guru selama ini maupun dari kajian pustaka. Dukungan berupa hasil penelitian -penelitian terdahulu, apabila ada juga akan lebih mengokohkan argumentasi mengenai urgensi serta signifikansi permasalahan yang akan ditangani melalui PTK yang diusulkan itu. Karakteristik khas PTK yang berbeda dari penelitian formal hendaknya tercermin dalam uraian di bagian ini.

3. PERMASALAHAN

Permasalahan yang diusulkan untuk ditangani melalui PTK itu dijabarkan secara lebih rinci dalam bagian ini. Masalah hendaknya benar - benar di angkat dari masalah keseharian di sekolah yang memang layak dan perlu diselesaikan melalui PTK. Sebaliknya permasalahan yang dimaksud seyogyanya bukan permasalahan yang secara teknis metodologik di luar jangkauan PTK. Uraian permasalahan yang ada hendaknya didahului oleh identifikasi masalah, yang dilanjutkan dengan analisis masalah serta diikuti dengan refleksi awal sehingga gambaran permasalahan yang perlu di tangani itu nampak menjadi perumusan masalah tersebut. Dalam bagian ini dikunci dengan perumusan masalah tersebut. Dalam bagian inipun, sosok PTK harus secara konsisten tertampilkan.

4. CARA PEMECAHAN MASALAH

Dalam bagian ini dikemukakan cara yang diajukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Alternatif pemecahan yang diajukan hendaknya mempunyai landasan konseptual yang mantap yang bertolak dari hasil analisis masalah. Disamping itu, juga harus terbayangkan kemungkinan kemanfaatan hasil pemecahan masalah dalam rangka pembenahan dan/atau peningkatan implementasi program pembelajaran dan/atau berbagai program sekolah lainnya.Juga harus dicermati artikulasi kemanfaatan PTK berbeda dari kemanfaatan penelitian formal.

5. TUJUAN PENELITIAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan PTK hendaknya dirumuskan secara jelas.paparkan sasaran antara dan akhir tindakan perbaikan.perumusan tujuan harus konsisten dengan hakekat permasalahan yang dikemukakan dalam bagian - bagian sebelumnya. Dengan sendirinya,artikulasi tujuan PTK berbeda dari tujuan formal. Sebagai contoh dapat dikemukakan PTK di bidang IPA yang bertujuan meningkatkan prestasi siswa dalam mata pelajaran IPA melalaui penerapan strategi PBM yang baru, pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar mengajar dan sebagainya. Pengujian dan/atau pengembangan strategi PBM baru bukan merupakan rumusan tujuan PTK. Selanjutnya ketercapaian tujuan hendaknya dapat diverfikasi secara obyektif.Syukur apabila juga dapat dikuantifikasikan. Disamping tujuan PTK, juga perlu diuraikan kemungkinan kemanfaatan penelitian. Dalam hubungan ini, perlu dipaparkan secara spesifik keuntungan - keuntungan yang dijanjikan, khususnya bagi siswa sebagai pewaris langsung (direct beneficiaries) hasil PTK, di samping bagi guru pelaksana PTK, bagi rekan - rekan guru lainnya serta bagi para dosen LPTK sebagai pendidik guru. Berbeda dari konteks penelitian formal, kemanfaatan bagi pengembangan ilmu. Teknologi dan seni tidak merupakan prioritas dalam konteks PTK, meskipun kemungkinan kehadirannya tidak ditolak.

6. KERANGKA TEORETIK DAN HIPOTESIS TINDAKAN

Pada bagian ini diuraikan landasan substantive dalam arti teoritik dan/atau metodologik yang dipergunakan peneliti dalam menentukan alternative, yang akan diimplementasikan. Untuk keperluan itu, dalam bagian ini diuraikan kajian baik pengalaman peneliti pelakju PTK sendiri nyang relevan maupun pelaku - pelaku PTK lain disamping terhadap teori - teori yang lazim termuat dalam berbagai kepustakaan. Argumentasi logic dan teoretik diperlukan guna menyusun kerangka konseptual. Aras kerangka konseptual yang disusun itu, hipotesis tindakan dirumuskan.

7. RENCANA PENELITIAN

Setting penelitian dan karakteristik subjek penelitian

Pada bagian ini disebutkan di mana penelitian tersebut dilakukan, di kelas berapa dan bagaimana karakteristik dari kelas tersebut seperti komposisi siswa pria dan wanita. Latar belakang sosial ekonomi yang mungkin relevan dengan permasalahan,tingkat kemampuan dan lain sebagainya. Aspek substantive permasalahan seperti Matematika kelas II SMPLB atau bahasa inggris kelas III SMLB, juga dikemukakan pada bagian ini.

Variabel yang diselidiki

Pada bagian ini ditentukan variabel - variabel penelitian yang dijadikan titik - titik incar untuk menjawab permasalahan yang dihadapi. Variabel tersebut dapat berupa (1) variabel input yang terkait dengan siswa, guru, bahan pelajaran, sumber belajar, prosedur evaluasi, lingkungan belajar, dan lain sebagainya; (2) variabel proses pelanggaran KBM seperti interaksi belajar-mengajar, keterampilan bertanya, guru, gaya mengajar guru, cara belajar siswa, implementasi berbagai metode mengajar di kelas, dan sebagainya, dan (3) varaibel output seperti rasa keingintahuan siswa, kemampuan siswa mengaplikasikan pengetahuan, motivasi siswa, hasil belajar siswa, sikap terhadap pengalaman belajar yang telah digelar melalui tindakan perbaikan dan sebagainya.

Rencana Tindakan

Pada bagian ini digambarkan rencana tindakan untuk meningkatkan pembelajaran, seperti : 1) Perencanaan, yaitu persiapan yang dilakukan sehubungan dengan PTK yang diprakarsai seperti penetapan entry behavior. Pelancaran tes diagnostic untuk menspesifikasi masalah. Pembuatan scenario pembelajaran, pengadaan alat - alat dalam rangka implementasi PTK, dan lain - lin yang terkait bdengan pelaksanaan tindakan perbaikan yang telah ditetapkan sebelumnya. Disamping itu juga diuraikan yang telah ditetapkan sebelumnya. Disamping itu juga diuraikan alternative - alternative solusi yang akan dicobakan dalam rangka perbaikan masalah. Format kemitraan antara guru dengan dosen LPTK juga dikemukakan pada bagian ini. 2) Implementasi Tindakan yaitu deskripsi tindakan yang akan di gelar. Scenario kerja tindakan perbaikan dan prosedur tindakan yang akan diterapkan. 3) Observasi dan Interpretasi yaitu uraian tentang prosedur perekaman dan penafsiran data mengenai proses dan produk dari implementasi tindakan perbaikan yang dirancang. 4) Analisis dan Refleksi yaitu uraian tentang prosedur analisis terhadap hasil pemantauan dan refleksi berkenaan dengan proses dan dampak tindakan perbaikan yang akan digelar, personel yang akan dilibatkan serta kriteria dan rencana bagi tindakan daur berikutnya.

Data dan cara pengumpulannya

Pada bagian ini ditunjukkan dengan jelas jenis data yang akan dikumpulkan yang berkenaan dengan baik proses maupun dampak tindakan perbaikan yang di gelar, yang akan digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan atau kekurangberhasilan tindakan perbaikan pembelajaran yang dicobakan. Format data dapat bersifat kualitatif, kuantitatif, atau kombinasi keduanya. Di samping itu teknik pengumpilan data yang diperlukan juga harus diuraikan dengan jelas seperti melalui pengamatan partisipatif, pembuatan juranal harian, observasi aktivitas di kelas (termasuk berbagai kemungkinan format dan alat bantu rekam yang akan digunakan)penggambaran interaksi dalam kelas (analisis sosiometrik), pengukuran hasil belajar dengan berbagai prosedur asesmen dan sebagainya.selanjutnya dalam prosedur pengumpulan data PTK ini tidak boleh dilupakan bahwa sebagai pelaku PTK, Para guru juga harus aktif sebagai pengumoul data, bukan semata - mata sebagai sumber data. Akhirnya semu teknologi pengumpulan data yang digunakan harus mendapat penilaian kelaikan yang cermat dalam konteks PTK yang khas itu. Sebab meskipun mungkin saja memang menjanjikan mutu rekaman yang jauh lebih baik. Penggunaan teknologi perekaman data yang canggih dapat saja terganjal keras pada tahap tayang ulang dalam rangka analisis dan interpretasi data.

Indikator kinerja

Pada bagaian ini tolak ukur keberhasilan tindakan perbaikan ditetapkan secara eksplisit sehingga memudahkan verifikasinya untuk tindak perbaikan melalui PTK yang bertujuan mengurangi kesalahan konsep siswa misalnya perlu ditetapkan kriteria keberhasilan dalam bentuk pengurangan (njumlah jenis dan atau tingkat kegawatan)miskonsepsi yang tertampilkan yang patut diduga sebagai dampak dari implementasi tindakan perbaikan yang dimaksud.

Tim peneliti dan tugasnya

Pada bagian ini hendaknya dicantumakan nama - nama anggota tim peneliti dan uraian tugas peran setiap anggota tim peneliti serta jam kerja yang dialokasikan setiap minggu untuk kegiatan penelitian..

8. JADWAL PENELITIAN

Jadwal kegiatan penelitian disusun dalam matriks yang menggambarkan urutan kegiatan dari awal sampai akhir.

9. RENCANA ANGGARAN

1. Komponen - komponen pembiayaan Rencana anggaran meliputi kebutuhan dukungan financial untuk tahap persiapan pelaksanan penelitian, dan pelaporan. Secara lebih rinci, pembiayaan yang termasuk dalam setiap bidang adalah sebagai berikut : a. Persiapan Kegiatan persiapan antara lain meliputi pertemuan anggota tim peneliti untuk menetapkan jadwal penelitian dan pembagian kerja, menyusun instrument penelitian, menetapkan format pengumpulan data, menetapkan teknik analisis data, dan sebagainya. b. Kegiatan operasional di lapangan Dalam kegiatan operasional dapat tercakup antara lain pelancaran tes diagnostic dan analisis hasilnya, gladi resik implementasi tindakan, perbaikan, pelaksanaan tindakan perbaikan, observasi dan interpretasi pelaksanaan tindakan perbaikan, pertemuan refleksi, perencanaan tindakan ulang, dan sebagainya. c. Penyusunan Laporan Hasil PTK Pembiayaan yang termasuk dalam bagian ini adalah penyusunan konsep laporan, review konsep laporan, penyusunan konsep laporan akhir.

Seminar local hasil penelitian, seminar nasional hasil penelitian, dan sebagainya. Juga termasuk dalam pembiayaan adalah penggandaan dan pengiriman laporan hasil PTK, serta pembuatan artikel hasil PTK dalm bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
2. Cara Merinci Kegiatan dan Pembiayaan Biaya penelitian harus dirinci berdasarkan kegiatan operasional yang dijabarkan dari metodologi yang dikemukakan. Agar dapat dihitung biayanya, kegiatan operasional itu harus jelas namanya, tempatnya, lamanya, jumlah pesertanya. Sarana yang diperlukan dan output yang diharapkan. 1) Beberapa patokan pembiayaan satuan kegiatan penelitian

a. Honorarium

1) Ketua Peneliti
2) Anggota tim peneliti
3) Tenaga Administrasi Besarnya honorarium tergantung pada sumber pandanaan

b. Bahan dan Peralatan penelitian

1) Bahan habis pakai
2) Alat habis
3) Sewa alat

c. Perjalanan

1) Biaya perjalanan sesuai dengan ketentuan
2) Transportasi local sesuai harga setempat
3) Lumpsum termasuk konsumsi sesuai dengan ketentuan
4) Monitoring dari PGSM minimal untuk satu orang, satu kali, selama dua hari
5) Konsultasi ketua tim peneliti ke PGSM selama dua hari

d. Laporan Penelitian

1) Penggandaan
2) Penyusuinan artikel berbahasa Indonesia dan inggris
3) Pengiriman

e. Seminar

1) Seminar lokal, konsumsi sesuai harga setempat, biaya penyelenggaraan sesuai dengan harga setempat
2) Seminar nasional minimal untuk dua orang (satu dosen LPTK dan satu guru pelaku PTK)

D. Daftar Pustaka Daftar pustaka disusun menurut urutan abjad pengarang . hendaknya pustaka benar - benar relevan dan sungguh - sungguh dipergunakan dalam penelitian.

10. LAMPIRAN DAN LAIN - LAIN
Bagian lampiran dapat berisi curriculum vitae ketua dan para anggota tim inti. Curriculum vitae tersebut memuat identitas ketua anggota tim peneliti, riwayat pendidikan, pelatihan di bidang penelitian yang telah pernah diikuti, baik sebagai penatar/pelatih maupun sebagai peserta, dan pengalaman dalam penelitian termasuk di PTK. Hal - hal lain yang dapat memperjelas karakteristik kancah PTK yang diusulkan dapat disertakan dalam usulan penelitian ini.

Dilihat sekilas, PTK merupakan kegiatan yang cukup sulit. tetapi dengan mencoba semua akan menjadi lebih mudah. Selamat berkarya.
PELACURAN BERSERAGAM SEKOLAH


Ditengah hiruk-pikuknya masalah pendidikan di negeri ini karena disibukkan dengan penerimaam siswa baru ataupun mahasiswa baru, tidak menjadikan masalah yang satu ini hilang begitu saja. Diakui atau tidak, pelacuran berseragam sekolah tetap ada. Hasil investigasi sebuah stasiun TV swasta di negeri ini tentang pelacuran di balik seragam sekolah membuat prihatin banyak pihak. Betapa tidak, jumlahnya ternyata cukup banyak dan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan kita. Harus diakui keberadaannya susah-gampang-gampang untuk dibuktikan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mereka benar adanya. Tidak heran mereka sudah mempunyai predikat sendiri, semisal ayam sekolah ataupun ayam kampus.

Penulis tertarik untuk menulis ini karena mereka termasuk orang-orang kreatif yang mampu memanfaatkan potensi diri walaupun dengan jalan yang tidak baik. Mereka pandai memanfaatkan seragam sekolah sebagai media mencari keuntungan dan kenikmatan sendiri. Seragam sekolah dijadikan daya tarik untuk mencari pelanggan dan sekaligus dijadikan pelindung bagi kegiatan maksiatnya.

Remaja dan Pencarian Diri

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Peralihan ini meliputi semua perkembangan yang dialaminya sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Dalam proses memasuki masa dewasa, remaja mengalami perubahan baik secara fisik maupun psikologis. Remaja dianggap sudah tidak seperti anak-anak lagi, untuk itu ia dianggap mampu untuk menjadi dewasa.ia pun harus siap berhadapan dengan berbagai masalah.

Bambang Y Mulyono, menyebutkan bahwa dalam masa remaja seseorang juga mengalami perkembangan seksualitas. Oleh karena itu, mulai timbul dorongan-dorongan seksual yang kadang-kadang kuat sekali. Apabila mereka tidak dapat atau tidak mampu menahan dorongan ini, terutama karena ego mereka kurang dewasa maka mudah sekali remaja tersebut terjerumus dalam hubungan seksual. Pada masa remaja, terutama perubahan jasmani menyangkut segi-segi seksual biasa terjadi di antara umur 13-14 tahun. Perubahan-perubahan ini biasanya berjalan sampai umur 20-21 tahun. Oleh karena itu, masa remaja biasanya dianggap terjadi di antara umur 13-21 tahun. Di sini masa-masa kritis dialami oleh remaja.

Perkembangan remaja secara fisik apat dilihat dari perubahan yang sangat mencolok pada anak wanita dengan melihat pertambahan berat badan terutama disebabkan oleh bertambahnya jaringan pengikat di bawah kulit, terutama pada paha, pantat, lengan atas dan dada. Sedangkan pada anak pria lebih disebabkan oleh makin bertambah kuatnya susunan urat daging.

Secara psikologis perkembangan remaja meliputi perkembangan intelektual, emosional, dan identitas. Perkembangan intelektual remaja menyebabkan ia mampu memikirkan dirinya sendiri dan hal ini membuat remaja mempunyai ide-ide berlebihan yang disertai dengan teori-teori dan sikap kritis. Perkembangan emosional berhubungan dengan ego atau ke-akuan. Emosional pada remaja tidak tetap, hal ini menyebabkan remaja sering kali rentan pada perkembangan ini. Perkembangan identitas juga menjadi sangat rentan bagi remaja. Berusaha mencari tahu siapa aku ini, apa jadinya aku, mau apa aku dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul di benak remaja. Tidak heran jika banyak remaja yang pada proses pencarian identitas diri mengalami proses perubahan yang cukup cepat. Pada satu sisi mereka ingin diakui, namun di sisi lain mereka belum siap untuk menjadi diri mereka sendiri.

Berlindung di Balik Seragam Sekolah

Pada umumnya orang akan mengecam bahkan mengutuk pelacuran itu, namun demikian ada pula yang bersimpati kepada mereka. Kendati banyak yang mengutuknya tidak dapat dipungkiri bahwa pelacuran berseragam sekolah tetap ada. Kartini Kartono dalam bukunya Pathologi Sosial (1981) menuliskan bahwa pelacuran yang sering disebut sebagai prostitusi (dari kata Latin prostituere atau prostauree) adalah membiarkan diri berbuat zinah, melakuan persundalan, percabulan, pergendakan. Selain itu, Bonger dalam Gilbert dan Reinda (1996), menyatakan bahwa prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dengan wanita yang menjual diri dan melakukan perbuatan tersebut sebagai mata pencaharian.

Hellen Buckingham seperti dikutif A.N. Krisna (1979), pelacuran adalah hasil langsung dari usaha perekonomian seorang wanita. Pelacuran adalah profesi wanita yang paling purba, di mana untuk pertama kalinya seorang wanita memperoleh penghasilannya, dan hasilnya yang paling langsung lantaran modalnya adalah dagingnya sendiri.

Dalam majalah Jakarta-Jakarta ditulis, kalau anda menjumpai cewek pelajar menggunakan baju seragam agak tipis, menerawang, maka besar kemungkinan itulah cewek yang anda cari. Kode lain konon adanya tempelen tensoplast pada badge lokasi sekolah yang dijahit pada lengan baju. Namun menurut Gilbert dan Reinda (1996), tanda-tanda inipun seringkali berubah-ubah. Biasanya setelah arti suatu tanda terbongkar luas, mereka membuat tanda rahasia baru. Gilbert dan Reinda menemukan bahwa tahun 1982-1984, tanda yang digunakan adalah tali sepatu yang diikat ke belakang. Tahun 1984-1986, tandanya tensoplast yang ditempel pada tas sekolah dan satu jari (biasanya ibu jari) memakai pewarna kuku. Biasanya juga mereka memakai anting-anting lebih dari satu pada telinga kiri.

Bahkan lebih garang lagi laporan Majalah Lisptik. Banyak mall di Jakarta yang dipadati pelajar dan baju seragam yang dipakai tampa badge lokasi sekolah, dan "anehnya" mereka tampa menggunakan BH. Konon kata security di sana, mereka bisa diajak kencan.

Untuk mengetahui jelas memang agak susah. Selintas mereka sama seperti pelajar kebanyakan. Mereka seolah-olah mencari suatu barang di pasar ataupun pusat perbelanjaan. Jika bertemua sesama wanita mereka terlihat biasa saja, namun jika bertemu dengan lawan jenis maka reaksi mereka agak berlebihan bahkan sengaja mencari perhatian, terlebih jika menemui orang yang tampan atau sudah berumur namun necis (biasanya mereka memperhatikan baju, celana, HP, jam tangan, ikat pingggang, dan pena).

Di pusat perbelanjaan, mereka biasanya berkelompok 2-5 orang. Gaya serta tingkah laku mereka memang sengat dibuat-buat, terlebih jika ada mangsa maka mereka sengaja mencari perhatian. Misalnya bagi mangsa yang berumur dan necis, dengan menanyakan waktu, menanyakan nomor telpon tertentu, dan lainnya. Jika yang seumuran cukup dengan pandangan mata, kedipan, maupun senyuman maka semuanya bisa berlanjut pada pembicaraan. Tidak jarang jika mereka pakai mobil cara-cara yang digunakan misalnya dengan membunyikan klakson pendek sebanyak tiga kali, memainkan lampu, dan melambaikan tangan tanda kenal. Jika si mangsa mengerti maka dapat langsung berlanjut

Mengenai tempat mangkal pasti, mereka berbeda dengan PSK (Penjaja Seks komersil) kebanyakan. Layaknya pelajar, mereka lebih senang beroperasi di pusat-pusat perbelanjaan, diskotek-diskotek, dan tempat-tempat nongkrong remaja kebanyakan. Bahkan pengelola sebuah diskotek di Jakarta mengaku sengaja memberikan free-pass atau card kepada mereka untuk masuk gratis dengan alasan mereka dapat memancing banyak tamu untuk datang.

Apa Sebabnya

Banyak diantara mereka yang merupakan siswa yang masih aktif di sekolah. Di sekolah kelakuan mereka kadang tidak berbeda dengan siswa lainnya. Jika demikian, mengapa mereka berbuat seperti itu ?

Dr. Ali Akbar mengemukakan beberapa alasan mengapa wanita menjadi pelacur, antara lain : pertama, tekanan ekonomi sehingga terpaksa menjual diri sendiri dengan jalan dan cara yang paling mudah. Kedua, tidak puas dengan apa yang ada, sebab tidak dapat membeli barang-barang yang bagus dan mahal. Ketiga, karena sakit hati akibat telah dinodai kekasihnya dan ditingggalkan begitu saja. Keempat, karena tidak puas dengan kehidupan seksualnya atau hiperseksual.

Sedangkan Kartini Kartono menyebutkan bahwa salah satu penyebab pelacuran karena pada masa kanak-kanak pernah melakukan hubungan seks atau suka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan, sekedar menikmati masa indah pada masa muda. Atau sebagai simbol keberanian telah menjalani dunia seks secara nyata. Selanjutya terbiasa melakukan hubungan seks secara bebas dengan banyak pemuda sebaya, kemudian terperosok ke dalam dunia pelacuran. Penyebab lainnya, karena termakan bujuk rayu kaum laki-laki, kehidupan keluarga yang broken home, anak gadis yang memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak hal yang tabu dan peraturan seks, dan ajakan teman-teman yang telah terjun dahulu kedalam dunia pelacuran.

Proses Penyadaran

Jika sudah diketahui penyebabnya, apakah kita dapat menghentikan atau menyadarkan mereka. Memberikan pengertian bahwa perbuatan mereka adalah hal yang dilarang tidak saja menurut agama tetapi juga menurut norma sosial yang ada di masyarakat. Namun kadang yang membuat mereka sulit untuk berubah adalah sikap masyarakat itu sendiri. Karena telah menggunakan seragam sekolah untuk kepentingan sendiri, sepertinya masyarakat sangat sulit menerima sadarnya mereka (mungkin itu juga sebagai hukuman). Tapi bagaimanapun juga, sebagai manusia kita patut mendukung dan memberikan kesadaran agar mereka berubah dan mengembalikan seragam sekolah sebagaimana mestinya.

Pepatah menyebutkan, "lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali". Kiranya patut untuk menjadi bahan pemikiran bagi proses penyadaran mereka. Dewasa ini banyak lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan yang peduli dengan mereka. Salah satunya adalah Komnas Perlindungan Anak, yang secara konsens membela hak-hak anak dan memberikan konsultasi dan advokasi bagai permasalahan anak. Termasuk diantaranya tentang pelacuran berseragam sekolah. Disaat pemerintah disibukkan dengan berbagai persoalan lain di negeri ini, keberadaan Komnas Perlindungan Anak ini menjadi sangat penting. Patut didukung usaha mereka dalam rangka menyelamatkan generasi bangsa ini.

Benteng utama adalah orang tua dan keluarga. Disinilah anak bersosialisasi sebelum berinteraksi dengan lingkungannya (masyarakat). Namun belum cukup jika hanya itu, lingkungan ynag sehat dan terbebas dari pelacuran jika menjadi faktor penentu. Terlebih sekolah yang diharapkan mampu memberikan pendidikan bagi kedewasaannya kelak mampu menjalankan fungsinya secara benar maka kita dapat tenang bahwa anak kita terhindar dari pelacuran.

Orang tua dan Kelurga hendaknya mewaspadai anak jika mempunyai keinginan untuk selalu keluar main dengan temannya tampa alasan yang rasional. Juga jika dikamarnya ditemukan barang-barang mewah ataupun mahal yang tidak kita berikan patut untuk dipertanyakan. Bertanya dengan penuh kasih tampa langsung menuduh yang tidak-tidak. Patut juga ditanya jika si anak pergi sekolah ataupun keluar, ditanya dengan siapa dan rencanya kemana saja. Hal-hal kecil ini setidaknya menjukkan perhatian kita, juga menjadi bahan pencarian jika ada hal-hal yang terjadi di luar kebiasaan.

Apalah artinya uang saku anak yang banyak tetapi mereka kurang perhatian. Orangtua sibuk dengan urusan masing-masing, si anak sibuk dengan temannya. Tak ada komunikasi yang terjalin secara intens, akhirnya rumah hanya menjadi tempat tidur istirahat malam.

Menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah juga bukan tindakan yang tepat. Perlu diingat bahwa intensitas anak di sekolah hanya berlangsung selama 7-8 jam sehari sedangkan sisi waktunya adalah dengan keluarga. Artinya, sekolah tidak dapat menjamin bahwa kelakuan anak anda akan selalu baik.

Sigmund Freud menyebutkan bahwa titik tolak dari kekerasan yang dilakukan seseorang berasal dari keluarga (termasuk segala bentuk penyimpangan). Karenanya, jadikanlah keluarga anda sebagai keluarga yang menjadi teladan bagi anak-anaknya, semoga.