Pendidikan Keagamaan Ditingkatkan

Rabu, 01 April 2009
PARIAMAN, METRO--Pemerintah Kota Pariaman akan terus mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan keagamaan di tiap jenjang pendidikan, termasuk Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) dan Taman Pendidikan Seni baca Al Qur’an (TPSA). Hal itu untuk menciptakan intelektualitas siswa dengan sumber daya manusia (SDM) keagamaan andal dan mandiri di masa datang.
Hal itu disampaikan Wali Kota Pariaman Drs H Mukhlis R MM kepada koran ini, kemarin. Katanya, kualitas pendidikan keagamaan yang baik akan mampu membentengi diri anak didik dari pengaruh dunia barat yang merongrong sendi-sendi agama dan budaya.Menurutnya, perlu strategi yang matang dalam proses pembelajaran. Tiap guru dituntut tidak lagi menggunakan metode yang kaku, namun lebih bervariasi. Karena membangkitkan semangat belajar siswa hal yang paling penting. Sebab pada dasarnya siswa bukanlah wadah yang harus diisi, melainkan api yang harus disulut. Katanya, kegembiraan siswa dalam menerima pembelajaran perlu diperhatikan. Karena itu adalah dijadikan faktor penentu meningkatkan kualitas belajar. Guru dituntut mengoptimalkan peran siswa agar potensi mereka merasa dihargai. Pemahaman inilah yang wajib terus dikembangkan, karena dapat menciptakan kebahagiaan siswa. Sehingga mereka menjadi tekun belajar.Dijelaskan Wako, kunci utama untuk meraih kesuksesan dalam mewujudkan hal tersebut di atas adalah dengan menciptakan komunikasi yang santun dalam setiap kegiatan belajar mengajar bahkan di luar kegiatan belajar mengajar. Di samping itu marilah terus di pupuk dan kembangkan komitmen dan budaya keteladanan bagi setiap insan pendidikan dalam mendukung terlaksananya program-program pendidikan.Khusus untuk TPA/TPSA, katanya, untuk meningkatkan kualitasnya Pemko telah mengambil kebijakan mengangkat statusnya menjadi MDA. Tujuan tidak lain untuk mewujudkan pengembangan metode pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan. Saat ini Pemko bersama dengan DPRD tengah membahas Peraturan Daerah (Perda) Baca Tulis al Quran untuk memperkokoh penanaman nilai-nilai yang terkandung di al Quran itu. Terutama bagi generasi muda sebagai pelanjut tongkat estafet pembangunan. Muhkis R mengimbau masyarakat untuk membangun keluarga yang baik. Karena pada keluarga merupakan lingkungan hidup primer dan fundamental, tempat terbentuknya kepribadian yang mewarnai kehidupan manusia.“Keluarga juga menentukan masyarakat, bangsa dan negara. Tentunya semuanya itu bisa tercapai, jika setiap keluarga dapat mewujudkan keluarga sejahtera,” tandasnya.(efa)

Internalisasi Nilai Agama dalam Pendidikan Lingkungan (Strategi Menanamkan Kearifan Ekologi secara Dini)

Pergeseran posisi manusia sebagai bagian dari alam menjadi penguasa alam akhirnya membawa bencana. Banjir bandang dan tanah longsor menghancurkan beberapa desa dan kecamatan di Kabupaten Jember, menewaskan lebih dari 60 orang, meluluhlantakkan segala harta benda, serta menghancurkan perkebunan yang selama ini diyakini sebagai penyebab kerusakan alam karena adanya alih fungsi hutan. Awal Tahun 2006 ini bencana atau musibah yang menimpa kian bertambah besar dan merata. Dipastikan setiap kali pergantian musim selalu diiringi musibah baru. 

Datangnya musim hujan disertai berbagai bencana. Antara lain banjir, tanah longsor, dan berbagai penyakit. Ribuan rumah di Jawa Timur tergenang di Blitar, Situbondo, Malang, Banyuwangi, Pasuruan, dan hampir diseluruh kabupaten di Jawa Timur. Wajah seperti inipun kemudian tampak di Jawa Barat, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), NTB (Lombok Timur dan Sumbawa), NTT, dan berbagai daerah lain. Ribuan orang harus kehilangan rumah, harta benda, bahkan sanak saudara. Ribuan anak pun tidak bisa sekolah karena sekolah tergenang air, roboh akibat banjir, maupun buku-buku basah. Jutaan hektar lahan pertanian yang menjadi sumber pencaharian masyrakat rusak, panen terancam gagal dan ternak mati. 

Perspektif agama 

Dari realita di atas sangat wajar bila manusia selalu mendapat bencana, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran, gunung meletus, kekeringan, dan lain-lain, mengingat manusia -yang katanya makhluk beragama-sama sekali tidak pernah menghargai, menghormati, apalagi mensyukuri lingkungan yang telah diberikan Tuhan. Dalam perspektif agama, musibah atau bencana di negeri ini merupakan warning dan atau cobaan yang diberikan Tuhan pada hamba-Nya yang berbuat salah, yang senantiasa melakukan kerusakan-kerusakan di bumi. 

Al-Qur'an sebagai sumber moral manusia dengan tegas telah menjelaskan posisi manusia-ekologi. Allah SWT menasbihkan manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalifatulah fil ardi) (Q.S. Albaqarah: 30) yang berkewajiban memakmurkan dan membudidayakannya (Q.S. Hud: 61), sekaligus melestarikan dan menjaga keseimbangan (equilibrium) lingkungan" (Q.S. Arrahman: 6-9). Agar peran mulia kekhalifahan bisa berfungsi optimal, dapat mencapai dimensi kualitatifnya yang tinggi, maka manusia (kita) niscaya dengan ikhlas pada saat yang bersamaan harus melibatkan dimensi kesediaan diri untuk menegakkan kebaktian/ibadah ('abdullah). Di antaranya dengan memperlakukan lingkungan dengan penuh tanggung jawab. Karena dalam pandangan Ilahi, alam memiliki hak yang sama dengan manusia (Q.S. Al-Hijr: 86). 

Konsep ekologi modern menunjukkan ayat-ayat di atas adalah dasar dari proses regulasi alam bagi makhluk hidup. Terdapat pola hubungan kemanfaatan bagi hubungan timbal balik yaitu komponen biotic dan abiotik. Hubungan tanah (bumi), udara (langit), air tumbuhan dan segala yang hidup. Sangat jelas, sekali hak alam ini kita abaikan dan atau malah kita perlakukan dengan kebuasan tak terkendali demi memanjakan hasrat primitif, sudah menjadi sunatullah, pada ambang batas yang sudah tidak bisa ditolerir lagi alam pun akan melakukan "perlawanan". 

Secara khusus dalam syariat Kristen terdapat pola religius relasi manusia dengan alam semesta. Gadium et Spes bicara secara jelas tentang hubungan manusia dengan alam, semua punya moral (Rm 8:21). Serta semuanya adalah milik manusia, tapi manusia milik Kristus dan Kristus adalah milik ALLAH (1 Kor 3:23. selanjutnya manusia dapat mengembangkan anugerah jasmani rohani, menakluikkan alam semesta untuk seluruh umat manuisa (Gaudium et spes). Kristen menganjurkan dalam hal ini bahwa pembangunan lingkungan harus bertujuan mencapai mutu hidup optimum bagi masyarakat. 

Agama Hindu pun mengajarkan bahwa lingkungan memegang peranan sangat penting tubuh manusia. Getaran-getaran dan gaya tarik lingkungan untuk mnedapatkan hidup yang lebih nikmat. Konteks ini memberi petunjuk dan pedoman bahwa Tuhan pencipta alam semesta menyuruh untuk memanfaatkn lingkungan hidup dan kualitasnya. Dalam agama Buddha ajaran melestarikan berasal dari pola kedisiplinan yang diterapkan oleh 227 kedisiplinan buddhis dalam "227 patimokkha sikhapada". Secara praktis (Legowo E,1997), kebajikan pada "Dasa Paramitta" menjadi modal ketaatan umat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup yaitu dana parramita, sila paramitta, nkkhamma paramitta, panna paramitta, viriya paramitta, khanti paramitta, sacca paramitta, adithana paramitta, metta paramitta dan upekkha paramita 

Internalisasi nilai 

Dalam perkembangannya telah muncul berbagai gagasan menangani ketidakseimbangan lingkungan untuk perbaikan kualitas hidup yang ramah lingkungan. Pendidikan lingkungan menjadi salah satu alternative yang rasional dan diharapkan dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 1996 yang kemudian direvisi pada bulan Juni 2005. Harapan ini sangat relevan mengingat Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai bentuk aplikasi dari Undang-undang No. 20 tahun 2003 mempunyai orientasi yang lebih luas, dimana kompetensi bukan hanya ada dalam tatanan pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambar dalam pola perilaku. 

Jika dipandang dari segi lingkungan maka kompetensi yang dimiliki oleh siswa setidaknya merupakan upaya sadar seseorang yang dilakukan untuk menerima pengetahuan dan mengubah sikapnya tentang kearifan lingkungan menjadi lebih baik. Cara pandang agama-agama dan cara pandang kearifan local tentang lingkungan hidup akan menjadi pondasi utama dari penerapan kompetensi tersebut. Dengan kata lain nili-nilai agama akan menuntun pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang terepleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak tersebut. 

Dua dari lima agenda membangun keadaban ekologis yang ditawarkan oleh Zainal Alyy Musthofa (Dumas, 20/01/06) dalam artikelnya yang berjudul "Menggagas Teologi Keadaban Ekologis" menarik untuk kita dicermati. Dua agenda tersebut adalah gerakan ecoreligism atau paham penyelarasan nilai agama untuk penyelesaian masalah lingkungan dan penggalakan gerakan pendidikan lingkungan di sekolah. Kedua alternative ini sangat wajar untuk dielaborasi mengingat agama adalah tuntunan hidup yang mutlak sementara pendidikan adalah wahana formal penanaman nilai secara dini. 

Pendekatan seperti ini merupaskan sumber baru dari sebuah khasanah lama pendidikan, tradisi kearifan local dan keagamaan Indonesia. Oleh karena itu upaya menggali pendekatan ini patut mendapat perhatian dengan kata lain bahwa internalisasi nilai-nilai keagamaan sangat mutlak diarusutamakan. Titik cerah kearah tersebut sangat diharapkan apalagi dunia konservasi memerlukan ahli multidisiplin untuk menyakinkan masyarakat bahwa melindungi alam bukan sekedar memberikan proteksi, tapi ada unsur ilmu pengetahuan dan relegius yang bisa digali didalamnya dan ada pula unsur mamfaat yang bisa diambil untuk kesejahteraan manusia baik secara umum maupun dalam bentuk ibadah.

Korelasi UU Sisdiknas dan PP Pendidikan Keagamaan

Selasa, 10 Maret 2009
Pada tanggal 10 Maret 2009 Kantor Depag Kota Semarang mengadakan Rapat Kerja (Raker). Raker diikuti oleh Kepala KUA, Pejabat struktural di lingkungan Depag dan beberapa Kepala MI atau MTs. Pada salah satu sesi raker tersebut, Dinas Pendidikan Kota Semarang turut menyampaikan materi dengan topik Korelasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan. Pada materi yang disampaikan diulas tentang hirarki regulasi dari UUD 1945 sampai turunnya PP 55/2007 tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”. Oleh karenanya Pendidikan keagamaan jelas merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Hal tersebut menyiratkan arti pentingnya pendidikan agama dan keagamaan dalam Sistem Pendidikan Nasional
Terakhir diperbaharui ( Rabu, 11 Maret 2009 )

DAMPAK PERILAKU RELIGIUS DALAM PEMBENTUKAN ETIKA SISWA

A. Latar Belakang 

Merebaknya isu-isu moral di kalangan remaja seperti penggunaan narkoba, tawuran pelajar, pornografi, perkosaan, merusak milik orang, merampas, menipu, mencari bocoran soal ujian, perjudian, pelacuran, pembunuhan, dan lain-lain sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana, karena sudah menjurus kepada tindak kriminal. Kondisi ini sangat memprihatinkan masyarakat khususnya para orang tua dan para guru (pendidik), sebab pelaku-pelaku beserta korbannya adalah kaum remaja, terutama para pelajar dan mahasiswa. 

Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikanlah yang sebenarnya paling besar memberi kontribusi terhadap situasi seperti ini. Masalah moral yang terjadi pada siswa tidak hanya menjadi tanggung jawab guru agama namun juga menjadi tanggung jawab seluruh pendidik. 

Apalagi jika komunitas suatu sekolah terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan ras. Berbagai konflik akan dengan mudah bermunculan. Jika kondisi semacam ini tidak di atasi maka akan timbul konflik-konflik yang lebih besar. Akibatnya masalah moral, etika akan terabaikan begitu saja. 

Padahal tujuan dari pendidikan di Indonesia adalah membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Manusia yang mempunyai kepribadian, beretika, bermoral, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian tujuan pendidikan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya seperti yang disarikan dari UU No 20. tahun 2003, bab II, pasal 3, bahwa manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab belum terwujud. 

Untuk itu perlu ditanamkan sikap jujur, saling menghargai, bertoleransi dalam diri setiap siswa, karena sikap ini mempunyai dampak luas bagi kehidupan orang lain dalam masyarakat dan negara. Dampak yang luas dan serius ini dapat dirasakan sejak Juli 1997 hingga sekarang. Krisis yang berkepanjangan tersebut tidak hanya krisis moneter dan ekonomi saja, tetapi sudah menjadi krisis multidimensi, yaitu menyentuh banyak bidang, termasuk krisis kepemimpinan, kepercayaan, dan moral (Indah dkk, 2003:14). Sikap jujur, bertoleransi, berdisiplin akan menjadi budaya masyarakat bangsa apabila perilaku religius menjadi kebiasaan sehari-hari. Perilaku religius akan mendekatkan insan manusia terhadap Tuhannya sehingga dapat meningkatkan iman dan takwa. 

B. Rumusan Masalah 

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas maka permasalahan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah: 

1. Apa yang dapat dilakukan sebagai pendidik pada anak didiknya dalam membiasakan berperilaku religius? 

2. Dampak apa sajakah dari perilaku religius yang tampak dalam pembentukan etika siswa? 

C. Tujuan dan Manfaat 

1. Tujuan penyusunan makalah 

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk: 

a. Mendeskripsikan tindakan pendidik dalam menumbuhkan kebiasaan berperilaku religius. 

b. Mendeskripsikan dampak perilaku religisu dalam pembentukan etika siswa. 

2. Manfaat penyusunan makalah 

Penyusunan makalah ini bermanfaat secara: 

a. Teoretis, untuk mengkaji kebiasaan perilaku religius di sekolah dasar dalam menumbuhkan etika bagi peserta didik. 

b. Praktis, bermanfaat bagi: 
(1) para pendidik agar pendidik dapat menanamkan perilaku religius dalam membentuk etika peserta didik 
(2) dosen, untuk mempersiapkan para pendidik agar memahami tentang pembiasaan perilaku di sekolah dasar yang dapat membentuk etika peserta didik. 
(3) mahasiswa agar memahami tentang pembiasaan perilaku di sekolah dasar yang dapat membentuk etika peserta didik. 

II. PEMBAHASAN 

A. Perilaku Religius 

Perilaku religius merupakan perilaku yang dekat dengan hal-hal spiritual. Perilaku religius merupakan usaha manusia dalam mendekatkan dirinya dengan Tuhan sebagai penciptanya. Religiositas merupakan sikap batin seseorang berhadapan dengan realitas kehidupan luar dirinya misalnya hidup, mati, kelahiran, bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan sebaginya (Indah dkk, 2003:17). Sebagai orang yang ber- Tuhan kekuatan itu diyakini sebagai kekuatan Tuhan. Kekuatan tersebut memberikan dampak positif terhadap perkembangan hidup seseorang apabila ia mampu menemukan maknanya. Orang mampu menemukannya apabila ia berani merenung dan merefleksikannya. 

Melalui refleksi pengalaman hidup memungkinkan seseorang menyadari memahami, dan menerima keterbatasan dirinya sehingga terbangun rasa syukur kepada Tuhan sang pemberi hidup, hormat kepada sesama dan lingkungan alam. Untuk dapat menumbuhkan nilai-nilai religius seperti ini tidaklah mudah. 

Pembelajaran moral yang dapat dilakukan menggunakan model terintegrasi dan model di luar pengajaran. Hal ini memerlukan kerjasama yang baik antara guru sebagai tim pengajar dengan pihak-pihak luar yang terkait. 

Nilai-nilai religiositas ini dapat diajarkan kepada siswa melalui beberapa kegiatan yang sifatnya religius. Kegiatan religius akan membawa siswa pada pembiasaan berperilaku religius. Perilaku religius akan menuntun siswa untuk bertindak sesuai moral dan etika. 

Antara moral dan etika sebenarnya tidak sama. Moral adalah hal yang mengatakan bagaimana kita hidup. Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik (Suseno, 2000:14-17) 

Moral dan etika dapat dipupuk dengan kegiatan religius seperti yang sudah dilakukan di SD Anjasmoro 01-02, Semarang. Kegiatan religius yang dapat diajarkan kepada siswa di sekolah tersebut yang dapat dijadikan sebagai pembiasaan, diantaranya: 
(1) berdoa atau bersyukur, 
(2) melaksanakan kegiatan di mushola 
(3) merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya, 
(4) mengadakan kegiatan keagamaan sesuai dengan agamanya. 

Berdoa merupakan ungkapan syukur secara langsung kepada Tuhan. Ungkapan syukur dapat pula diwujudkan dalam relasi seseorang dengan sesama, yaitu dengan membangun persaudaraan tanpa dibatasi oleh suku, ras, dan golongan. Kerelaan memberikan ucapan selamat hari raya kepada teman yang tidak seiman merupakan bentuk-bentuk penghormatan kepada sesama yang dapat dikembangkan sejak anak usia sekolah dasar. Ungkapan syukur terhadap lingkungan alam misalnya menyiram tanaman, membuang sampah pada tempatnya, dan memperlakukan binatang dengan baik. 

Berbagai kegiatan di mushola sekolah juga dapat dijadikan pembiasaan untuk menumbuhkan perilaku religius. Kegiatan tersebut di antaranya salat dzuhur berjamaah setiap hari, sebagai tempat untuk mengikuti kegiatan belajar baca tulis Al Quran, dan salat Jumat berjamaah. Pesan moral yang didapat dalam kegiatan tersebut dapat menjadi bekal bagi siswa untuk berperilaku sesuai moral dan etika. 

Kegiatan lain yang dapat membentuk moral dan etika dari perilaku religius yaitu merayakan hari besar sesuai dengan agamanya. Untuk yang beragama Islam momen-momen hari raya Idul Adha, Isra Mikraj, Idul Fitri dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan iman dan takwa. Begitu juga bagi yang beragama Nasrani, perayaan Natal dan Paskah akan dapat dijadikan momen penting untuk menuntun siswa agar bermoral dan beretika. 

Sekolah juga dapat menyelenggarakan kegiatan keagamaan lainnya diwaktu yang sama untuk agama yang berbeda, misalnya kegiatan pesantren kilat bagi yang beragama Islam dan kegiatan rohani lain bagi yang beragama Nasrani maupun Hindu. Kegiatan religius lainnya dapat juga ditumbuhkan melalui kegiatan berkemah. Kemah religius misalnya dengan menghadirkan dai cilik bagi yang beragama Islam dan mendatangkan buder bagi yang beragama Nasrani. 

Dengan demikian akan tumbuh toleransi beragama, saling menghargai perbedaan, sehingga dapat terjalin hubungan yang harmonis, tentram dan damai. Siswa akan merasakan indahnya kebersamaan dalam perbedaan. Mereka akan merasa bahwa semua adalah saudara yang perlu dihormati, dihargai, dikasihi, dan disayangi seperti keluarga sendiri. 

B. Dampak Perilaku Religius dalam Menumbuhkan Etika 

Pembiasaan berperilaku religius di sekolah ternyata mampu mengantarkan anak didik untuk berbuat yang sesuai dengan etika. Dampak dari pembiasaan perilaku religius tersebut berpengaruh pada tiga hal yaitu: (1) Pikiran, siswa mulai belajar berpikir positif (positif thinking). Hal ini dapat dilihat dari perilaku mereka untuk selalu mau mengakui kesalahan sendiri dan mau memaafkan orang lain. Siswa juga mulai menghilangkan prasangka buruk terhadap orang lain. Mereka selalu terbuka dan mau bekerjasama dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan agama, suku, dan ras. 

(2) Ucapan, perilaku yang sesuai dengan etika adalah tutur kata siswa yang sopan, misalnya mengucapkan salam kepada guru atau tamu yang datang, mengucapkan terima kasih jika diberi sesuatu, meminta maaf jika melakukan kesalahan, berkata jujur, dan sebagainya. Hal sekecil ini jika dibiasakan sejak kecil akan menumbuhkan sikap positif. Sikap tersebut misalnya menghargai pendapat orang lain, jujur dalam bertutur kata dan bertingkah laku. 

(3) Tingkah laku, tingkah laku yang terbentuk dari perilaku religius tentunya tingkah laku yang benar, yang sesuai dengan etika. Tingkah laku tersebut di antaranya empati, hormat, kasih sayang, dan kebersamaan. 

Jika siswa sudah terbiasa hidup dalam lingkungan yang penuh dengan kebiasaan religius, kebiasaan-kebiasaan itu pun akan melekat dalam dirinya dan diterapkan di mana pun mereka berada. Begitu juga sikapnya dalam berucap, berpikir dan bertingkah laku akan selalu didasarkan norma agama, moral dan etika yang berlaku. Jika hal ini diterapkan di semua sekolah niscaya akan terbentuk generasi-generasi muda yang handal, bermoral, dan beretika. 

III. PENUTUP 

A. Simpulan 

Dari pembahasan tentang menumbuhkan etika melalui perilaku religius di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 

a. Kegiatan religius di sekolah seperti: 
(1) berdoa atau bersyukur, 
(2) melaksanakan kegiatan di mushola 
(3) merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya, 
(4) mengadakan kegiatan keagamaan sesuai dengan agamanya akan membiasakan perilaku religius. Perilaku religius tersebut dapat menuntun siswa untuk bertingkah laku sesuai etika.

RESUME

 1. DATA BUKU :

· Judul Buku : Otonomi Pendidikan 
Kebijakan Otonomi dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan 
· Penulis : Hasbullah
· Penerbit : PT. RajaGrafindo Persada 
· Tebal Buku : 230 Halaman
· Cetakan : Pertama
· Tahun Terbit : Januari 2006

2. RESUME :

 Kehadiran Undang-Undang Otonomi Daerah telah membawa sejumlah perubahan dalam tatanan pemerintahan, terutama dengan diserahkannya sejumlah kewenangan kepada daerah, yang semula menjadi urusan pemerintahan pusat. Salah satunya adalah dibidang pendidikan. Kewenangan tersebut menuntut adanya perubahan berupa pembaruan sistem pendidikan yang sekian lama dikelola secara sentralistik oleh pemerintah pusat dengan menafikan keragaman, perbedaan, kultur, agama, dan sebagainya yang menyebabkan terpuruknya kualitas pendidikan di Indonesia.
 Banyak orang beranggapan bahwa pelaksanaan otonomi daerah memberikan harapan akan perbaikan penyelenggaraan pendidikan yang pada gilirannya meningkatkan kualitas output nya. Namun, ternyata harapan itu menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah banyak pemegang kebijakan yang pola pikir masih sangat prosedural, serba juklak, juknis, sehingga mengahambat lahirnya kreativitas, motivasi, dan upaya-upaya inovatif.
 Buku ini memaparkan berbagai perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai akibat diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah ini diharapkan mampu mebuka wawasan tentang arti pentingnya otonomi dibidang pendidikan. Konsep-konsep tentang desentralisasi pendidikan, peningkatan kapasitas otonomisasi sekolah, pelaksaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), pemberdayaan komite sekolah, pengelolaan sistem manajemen pendidikan disekolah, otonomi perguruan tinggi dan otonomi pada lembaga-lembaga pendidikan Islam yang diuraikan dalam buku ini sangat perlu dipahami oleh pemegang kebijakan, pelaku dibidang pendidikan dan masyarakat selaku stakeholder dalam pengelolaan pendidikan. Dengan demikian, diharapkan penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih baik dan kualitas lulusannya dapat lebih ditingkatkan. 

Ø Konsep Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
Perkataan otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hokum atau aturan (Abdurrahman, 1987 : 9). Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan sebagai zelfwetgeving atau ‘pengundangan sendiri’ (Danuredjo, 1977). Secara konseptual banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh pakar penulis, diantaranya Syarif Saleh (1963) mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat. 
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 ayat (5) dikemukakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, suatu masyarakat yang lebih adil dan lebih sejahtera. 
Desentralisasi diartika sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004). Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi, dan penghormatan terhadap budaya lokal, serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. 
Kewenangan pengelolaan pendidikan berubah dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Desentralisasi pendidikan berarti terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendiidkan (Abdul Halim, 2001 : 15). Desentralisasi pendidikan merupakan sebuah sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinnekaan. Menurut Santoso S. Hamijoyo (1993 : 3), ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yaitu (1) pola dan pelaksanaan manajemen harus demokratis; (2) pemberdayaan masyarakat harus menjadi tujuan utama; (3) peranserta masyarakat bukan hanya pada stakeholders; (4) pelayanan harus lebih cepat, efisien, efektif, melebihi pelayanan era sentralisasi demi kepentingan peserta didik dan rakyat banyak; dan (5) keanekaragaman aspirasi dan nilai serta norma local harus dihargai dalam kerangka dan demi penguatan sistem pendidikan nasional.  
Dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan tidak berhenti pada tingkat kabupaten/kota, tetapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan. Dalam praktik desentralisasi pendidikan itulah maka dikembangkanlah yang dinamakan Manajemen Berbasis Sekola (MBS). Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan manajemen berbasis sekolah, sebenarnya merupakan kecenderungan internasional yang dipraktikkan di banyak negara, dan untuk Indonesia merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan dan sumber daya manusia yang belakangan ini dirisaukan banyak pihak, terutama bila dilihat dari beberapa laporan hasil survey dan lembaga-lembaga independent dunia, menempatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia pada urutan bawah, jauh dibawah Negara-negara tetangga seperti Singapore, Malaysia, Thailand dan bahkan Philipina. Dalam konteks desentralisasi ini, peran serta masyrakat sangat diperlukan. Aparatur pendidikan baik di pusat maupun di daerah, berperan penting dalam peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas masyarakat untuk membangun pendidikan yang mandiri dan profesional.  

Ø Kebijakan Desentralisasi Pendidikan dan Kendala Pelaksanaannya 
Sejalan dengan arah kebijakan otonomi dan desentralisasi yang ditempuh oleh pemerintah, tanggung jawab pemerintah daerah akan meningkat dan makin luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah diharapkan untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan. Kendatipun sentralisasi pendidikan disatu sisi mempunyai nilai positif, paling tidak dalam hal ini tercapainya standar mutu secara nasional, namun di sisi lain mempunyai dampak yang tidak sedikit. Akibat sentralisasi, sekolah tidak memiliki kebebasan mengembangkan diri, sekolah yang baik akan terhambat karena dipaksa mengikuti aturan-aturan pemerintah pusat, para guru menjadi sekadar pelaksana petunjuk, sehingga tidak kreatif mendampingi anak didik. Pada gilirannya, sekolah-sekolah akan memanipulasi laporan demi kebaikannya dan demi tuntutan pusat yang tidak memerhatikan kepentingan lokal. 
Dengan demikian, melihat plus minus nya bagaimanapun desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan, disamping tentunya sejumlah peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan menuntut untuk dilaksanakan. Meskipun demikian, pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Departemen Pendidikan Nasional tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan, yaitu otonomi di tingkat sekolah. 
Untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh wilayah Indonesia tampaknya mengalami banyak kesulitan, karena sejumlah masalah dan kendala yang perlu diatasi. Masalah-masalah yang berkaitan dengan substansi manajemen pendidikan dan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
ü Masalah Kurikulum
Dalam konteks otonomi daerah, kurikulum suatu lembaga pendidikan tidak sekedar daftar mata pelajaran yang dituntut di dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan. Dalam pengertian yang luas, kurikulum berisi kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran tertentu, juga berkenaan dengan proses yang terjadi di dalam lembaga (proses pembelajaran), fasilitas yang tersedia yang menunjang terjadinya proses, dan akhirnya produk atau hasil dari proses tersebut. 
Kurikulum sekolah yang amat terstruktur dan sarat beban menyebabkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril terhadap keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan soial yang berkembang dalam masyarakat. Akibatnya, proses pendidikan menjadi rutin, tidak menarik, dan kurang mampu memupuk kreativitas murid untuk belajar serta guru an pengelola pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan pendekatan belajar yang inovatif. Kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum kelembagan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat, yaitu kelembagan pendidikan yang bersandarkan pada komunitas masyarakat. Dalam kaitan manajemen kurikulum, peningkatan relevansi dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat antara lain perlu dilakukan manajemen kurikulum yang berangkat dari suatu prediksi yang dapat memberikan gambaran dan keadaan masyarakat beberapa tahun mendatang. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan harus tetap dijaga agar selalu responsive dalam mengikuti perkembangan teknologi yang menunjang pelaksanaan tugas lulusan dilapangan. 
ü Masalah Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber daya manusia merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan implementasi desntralisasi pendidikan. Banyak kekhawatiran dalam bidang kesiapan SDM ini, diantaranya belum terpenuhinya lapangan kerja dengan kemampuan sumber daya yang ada. Prinsip “the right man on the right place” semakin jauh dari pelaksnaannya. 
Sejak dilaksanakannya otonomi daerah, pengelolaan sumber daya manusia di daerah baik di provinsi, kabupaten, dan kota memang cukup memprihatinkan. Pimpinan daerah yang kekuasaannya sangat besar kadang-kadang menempatkan “orang-orangnya” secara serampangan dan jarang memperhatikan aspek profesionalisme. Koordinasi lembaga juga agak terhambat karena tidak ada hubungan secara hierarkis antara lembaga yang ada di tingkat kabupaten/kota dengan provinsi. 
Bagaimanapun sumber daya manusia yang kurang professional akan menghambat pelaksnaan system pendidikan. Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan kehliannya menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak professional. Banyak tenaga kependidikan yang latar belakang pendidikannya tidak relevan ditempatkan di dunia kerja yang ditekuninya. 
ü Masalah Dana, Sarana dan Prasarana Pendidikan
Persoalan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan system pendidikan di Indonesia, dan dana juga merupakan salah satu syarat atau unsure yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikan nasional rendah karena dana yang tidak mencukupi, anggaran untuk pendidikan maish terlalu rendah. 
 UU Nomor 20 Tahuin 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebenarnya sudah mengamanatkan tentang pentingnya alokasi anggaran dana untuk pembiayaan dan pembangunan pendidikan ini. Dalam pasal 49 ayat (1) dikemukakan bahwa, “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. 
 Sayangnya, amanat yang jelas-jelas memiliki dasar dan paying hukum tersebut dengan berbagai dalih dan alasan sampai saat ini masih belum bisa dilaksnakan. Dana masyarakat yang selama ini digunakan untuk mebiayai pendidikan belum optimal teralokasikan secara proposional sesuai dengan kemampuan daerah. Terserapnya dana masyarakat ke pusat membuat daerah menjadi semakin tidak berdaya membiayai penyelenggaraan pendidikan. Sarana dan prasarana penididikan sangat tergantung pengadaannya dari pemerintah pusat. 
 Sementara itu, dalam konteks pembiayaan, dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka anggaran pendidikan dialokasikan pada APBD. Terlihat jelas penurunan biaya penyelenggaraan pendidikan. Hal ini disamping pemahaman pimpinan daerah terhadap pendidikan, banyak yang masih sangat terbatas, tidak jarang mereka juga menempatkan pembangunan pendidikan bukan berada pada skala prioritas. Dalam konteks ekonomi, pada dasarnya pendidikan merupakan investasi panjang yang hasilnya tidak bisa dilihat satu dua tahun, tetapi jauh ke depan. Sebagai suatu investasi produktif, mestinya pembangunan pendidikan harus memperhitungkan dua konsep utama, yaitu biaya (cost) dan manfaat (benefit) pendidikan. Berkaitan dengan biaya pendidikan ini sendiri, menurut Ace Suryadi (2004 : 181) terdapat empat agenda kebijakan yang perlu mendapat perhatian serius, yaitu : (1) besarnya anggaran pendidikan yang dialokasikan (revenue); (2) aspek keadilan dalam alokasi anggaran; (3) aspek efisien dalam pendayagunaan anggaran; (4) anggaran pendidikan dan desentralisasi pengelolaan. 
ü Masalah Organisasi Kelembagaan
 Di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 pasal 4 ayat (2) dikemukakan bahwa masing-masing daerah provinsi, kabupaten/kota, berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki termasuk dibidang pendidikan. Proses desentralisasi kelembagaan pendidikan merupakan proses yang cukup rumit. Hal ini sebagaimana yang digambarkan Soewartoyo, dkk (2003 : 80-81) disebabkan beberapa faktor, yaitu :
1. Desentralisasi kelembagaan pendidikan akan menciptakan suatu siste pendidikan dengan kebijakan-kebijakan yang faktual;
2. Desentralisasi kelembagaan pendidikan harus mengelola sumber dayanya sekaligus memanfaatkannya;
3. Desentralisasi kelembagaan pendidikan harus melatih tenaga kependidikan dan tenaga pengelola tingkat lapangan yang professional;
4. Desentralisasi kelembagan pendidikan harus menyusun kurikulum yang tepat guna;
5. Desentralisasi kelembagaan pendidikan juga harus dapat mengelola sistem pendidikan yang didasarkan pada kehidupan social budaya setempat;
Kelembagaan pendidikan yang memiliki orientasi pada masyarakat, serta setidaknya dimiliki oleh komunitas masyarakat lokal, menuntut kelembagaan-kelembagaan yang baru berdasarkan paradigma pengembangan kelembagaan-kelembagaan yang terkait dengan kelembagaan pendidikan daerah. 
ü Masalah Perundang-undangan
  Bagaimanapun masalah sentralisasi, dekonsentrasi, dan desntralisasi dalam pemerintahan mempunyai implikasi langsung terhadap penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, terutama yang berkaitan dengan masalah kebijakan, manajemen, mutu, kontrol, dan sumber-sumber dana pendidikan. Penyelenggaraan system pendidikan nasional untuk masa kini, selain telah memiliki perangkat pendukung perundang-undangan nasional, juga dihadapkan sejumlah faktor yang menjadi tantangan dalam penerapan desentralisasi pendidikan di daerah. 
  Pengaturan otonomi daerah dalam bidang pendidikan secara tegas telah dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Ini berarti bahwa tugas dan beban pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menangani layanan pendidikan yang besar dan berat, terutama bagi daerah yang kemampuan diri (capacity building) dan sumber daya pendidikannya kurang.
  Sesuai dengan misi pendidikan nasional yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan merespons perkembangan global pada abad ke-21, maka arah kebijakan pendidikan nasional ke depan tetap mengacu pada tiga hal, yaitu :
1. Perluasan dan pemerataan layanan pendidikan yang bermutu;
2. Peningkatan mutu pembelajaran dal lembaga pendidikan;
3. Perbaikan kapasitas dan manajemen pendidikan.
Upaya peningkatan akses dan pemerataan pendidikan, khususnya pada tingkat pendidikan dasar, merupakan titik rawan yang masih perlu mendapatkan perhatian di era otonomi daerah sekarang ini, termasuk tentunya kualitas pendidikan. Kondisi seperti ini, akan semakin parah bilamana daerah tidak mengantisispasi dan mengoptimalkan sumber daya daerah yang tersedia untuk meningkatkan mutu pendidikannya. Oleh sebab itu, upaya-upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran siswa, kemampuan profesionalisme guru, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan yang mendukung kinerja sekolah, perlu mendapatkan perhatian serius bagi pemerintah daerah. 
ü Masalah Pembinaan dan Koordinasi
UU Nomor 32 Tahun 2004 pada dasarnya mengamanatkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah berkewajiban untuk melakukan pembinaan-pembinaan agar permasalahan yang muncul dapat diminimalisasi. Disamping pembinaan, koordinasi juga sangat diperlukan bagi daerah, hal ini terutama untuk menghindari seperti terjadinya tumpang tindih program, gap antardaerah, dan sebagainya.  
Meskipun desentralisasi sudah ada dalam peraturan dan regulasi otonomi daerah, tetapi dalam kelembagaan dan sikap akademik guru, kepala sekolah dan jajaran Dinas Pendidikan sebagai atasannya belum sinkron. Pemerintah daerah belum menunjukkan penampilan dan cara kerja yang jelas, dan yang mereka lakukan masih pada pemanfaatan dana, bukan pada “academic activity”.

Ø Implikasi Umum Desentralisasi Pendidikan
Hakikat desentralisasi dan otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang yang disertai keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan sedemikian rupa sehingga pelayanan kepada masyarakat akan menjadi lebih baik, dan pembangunan daerah dapat lebih terarah serta optimal. Ternyata desentralisasi dan otonomi pendidikan tidaklah sederhana, karena menyangkut berbagai pihak yang berkepentingan; berbagai dimensi yang berkaitan satu sama lain; serta berbagai dinamika dengan cakupan yang sangat kompleks dan luas. Di sisi lain, perubahan yang demikian cepat akibat kebijaksanaan desentralisasi telah menempatkan pemerintah dan masyarakat daerah pada posisi “terpaksa siap” untuk menerima tanggung jawab baru. Namun demikian, permasalahan dalam pembangunan pelayanan pendidikan akan dapat teratasi sejalan dengan meluasnya pemahaman terhadap konsep, prinsip-prinsip, aturan pelaksanaan, serta berbagai permasalahan.
Kebijakan otonomi daerah dan tuntutan globalisasi jelas berpengaruh pada cakupan tugas dan tanggug jawab pihak daerah, termasuk mereka yang ditugasi untuk menyusun perencanaan pembangunan pendidikan. Indikator utama adalah bahwa setiap perencanaan program pendidikan harus sejalan dengan berbagai tujuan yang telah digariskan dalam GBHN maupun PROPENAS. Implikasi nyata dari tuntutan itu adalah penyusunan program yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah; dukungan mekanisme dan struktur organisasi yang memadai, memiliki tenaga yang professional dan dukungan data serta informasi yang relevan. 
Namun, hal yang harus terus diingat bahwa otonomi merupakan suatu terminologi dalam wilayah manajemen yang diperlukan agar suatu system dapat berjalan dan berfungsi secara lebih efisien dan efektif. Dengan demikian, otonomi daerah tidak justru menjadikan pemerintah daerah dapat berbuat sekehendaknya, tanpa memerhatikan rambu-rambu yang mesti ditaati bersama. Untuk keberhasilan pelaksanaan desentralisasi, sedikitnya ada empat hal yang mesti dipersiapkan, yaitu (1) peraturan dari tingkat daerah, provinsi, sampai ke tingkat kelembagaan; (2) pembinaan kemampuan daerah; (3) pembentukan perencanaan unit yang bertanggung jawab untuk menyusun perencanaan pendidikan; (4) perangkat sosial, berupa kesiapan masyarakat setempat untuk menerima dan membantu menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan desentralisasi pendidikan dimaksud.
Apabila hal-hal tersebut diatas belum mendapat perhatian secara optimal, bisa dipastikan pelaksanaan desentralisasi pendidikan akan menemui berbagai kendala. Implementasi otonomi pendidikan, disamping banyak memiliki sisi positifnya, perlu juga disadari oleh pelaku pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, bahwa pelaksanaan otonomi pendidikan akan membawa konsekuensi yang cukup berat, diantaranya sebagai berikut :
a. Dalam Bidang Pemerintahan 
 Dalam bidang ini, perlu terjadi pengaturan perimbangan kewenangan antara pusat dan daerah, dan masing-masing harus mempunyai komitmen tinggi untuk mewujudkannya. Sebab, berhasil tidaknya pelaksanaan otonomi daerah paling tidak ditentukan oleh tiga hal, yaitu (1) adanya political will and political commitment dari pemerintah pusat untuk benar-benar memberdayakan daerah; (2) adanya iktikad baik dari pemerintah dalam mebantu keuangan daerah; (3) adanya perubahan perilaku elit local untuk dapat membangun daerah. 
 Dalam bidang pendidikan, pemerintah pusat mempunyai komitmen untuk mengurus hal-hal strategis pendidikan pada tatanan nasional yang meliputi (1) pengembangan kurilkulum pendidikan nasional; (2) bantuan teknis; (3) bantuan dana; (4) monitoring; (5) pembakuan mutu; (6) pendidikan moral dan karakter bangsa; (7) pendidikan bahasa Indonesia. 
 Pemerintah daerah mempunyai komitmen untuk mengurus hal-hal operasional pendidikan, khususnya dalam pengelolaan pendidikan yang meliputi aspek-aspek (1) kelembagaan, (2) kurikulum, (3) sumber daya manusia, (4) pembiayaan, dan (5) sarana dan prasarana. 
 Bidang pemerintah in perlu mendapatkan perhatian karena masih banyak terjadi tumpang tindih antara kepengurusan hal-hal strategis pendidikan yang menjadi wewenang pemerintah pusat dan hal-hal operasional pendidikan yang menjadi wewenang pemerintah daerah.
  b. Dalam Bidang Sosial Budaya
 Dalam peningkatan mutu dan relevansi pendidikan pada dasarnya sangat diperlukan orientasi lokal yang bersifat kedaerahan, maupun kepentinganm nasional dan bahkan harus memiliki perspektif global. Perlunya memerhatikan persoalan bidang social budaya ini karena adanya gejala munculnya eksklusivisme kesukuan pada daerah tertentu, yang ingin menunjukkan sebagai daerah khusus, yang menutup untuk dialog secara plural dan inklusif. Dalam dunia pendidikan, tindakan “eksklusivisme” semacam ini cukup membahayakan bagi peserta didik. Apabila pengaruhnya terlalu besar dan mereka menginternalisasi nilai-nilai eksklusivistis yang ditanamkan, hal itu akan membuat rawan bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. 
 c. Dalam Bidang Pembelajaran 
 Pembelajaran merupakan tugas utama di sekolah, yang didalamnya terjadi proses pembelajaran, proses pelatihan, proses pelatihan, proses pembimbingan, dan proses penilaian. Guru harus terpanggil secara professional untuk menjalankan tugas teresbut secara integral. Dengan otonomi pendidikan ini para guru telah diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan bidang pembelajaran tersebut secara optimal sehingga potensi-potensi peserta didik bisa berkembang sebagaimana yang diharapkan. Guru harus bersikap proaktif dan kreatif kratif dalam pembelajaran, dan tidak hanya menunggu perintah dan petunjuk dari atasan ataupun pemerintah. 
 Hak otonomi pendidikan dalam pembelajaran, pembimbingan, pelatihan, dan sistem penilaian yang telah diberikan kepada sekolah dengan MBS tersebut sayangnya sampai sekarang masih belum bisa berjalan secara optimal. Pengabaian aspek afektif dan konatif ini sangat merugikan perkembangan peerta didik dalam mengadakan transformasi social dan budaya. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan dalam mewujudkan suasana yang semakin bersahabat, semakin bermatabat, dan semakin menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Jika dfemikian, sekolah yang melaksanakan otonomi masih sulit untuk menjadi agen dari pelaku perubahan
 d. Anggaran Pendidikan
 .Menyangkut anggaran pendidikan yang sangat keciltersebut, menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah benar-benar menempatkan investasi sumber daya manusia menjadi prioritas utama dalam meningkatkan daya saing di era global yang sangat kompetitif seperti seakarang. Namun, jika anggaran pendidikan berhasil ditingkatkan, pertanyaan berikutnya akan muncul yaitu apakah kenaikan anggaran pendidikan yang tiba-tiba tidak akan melahirkan ekses yang buruk, terutama dilihat dari efisiensi penggunaannya. Ini belum lagi ketika kita lihat realitas akan masih tingginya anka korupsi yang sangat kronis bagi bangsa ini. 
 Persoalan anggaran pendidikan sekarang memang sangat menjadi sorotan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, sebab meskipun paying hokum berupa undang-undang sudah mengisyaratkan anggaran pendidikan dengan minimal 20% diluar gaji APBN dan APBD, tetapi tampaknya khususnya bagi pemerintah daerah masih terlihat ogah-ogahan untuk menganggarkan pendidikan sebesar itu. Dengan berbagai alasan, kendatipun mereka menyatakan bahwa pendidikan merupakan hal sangat penting, dalan sector penganggaran pendidikan bukan merupakan prioritas yang mesti medapatkan perhatian utama. 
 e. Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan 
 Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan satuan pendidikan maupun lembaga pemerintah lainnya. Posisi Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, satuan pendidikan, dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya mengacu pada kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan yang berlaku. Untuk menjalani perannya, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memiliki fungsi yaitu mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan ynag bermutu. Badan itu juga melakukan kerjasama dengan masyarakat, baik perorangan maupun organisasi, dunia usaha dan dunia industri, pemerintah dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Fungsi lainnya adalah menampung dan menganalisis aspirasi, pandangan, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.  

Ø Peningkatan Kapasitas Otonomi Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (school based management) atau yang sering disebut dengan MBS sebagai konsep dasar manajemen pendidikan masa kini, merupakan konsep manajemen sekolah yang memberikan kewenangan, kepercayaan, dan tanggung jawab yang luas bagi sekolah berdasarkan profesionalisme untuk menata organisasi sekolah, mencari dan mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya pendidikan yang tersedia, serta memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan. 
 Sementara itu, community based education merupakan konsepsi yang memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya. Dalam upaya membangun otonomisasi pendidikan scara benar, maka dalam bidang pendidikan kiranya akan terbentuk pola manajemen pendidikan sebagai berikut :
a. Manajemen Berbasis Sekolah 
School based management atau MBS adalah sistem manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan sekolah setempat. Sekolah diharapkan mengenali seluruh infrastruktur yang berada disekolah. Dalam MBS, sekolah diharapkan mengenai kekuatan dan kelemahannya, potensi-potensinya, peluang dan ancaman yang dihadapinya, sebagai dasar dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan yang akan diambilnya. Berdasarkan analisis tersebut, lalu sekolah merumuskan kunsi sukses dan merumuskan visi, misi, sasaran dan menyusun strategi serta menetapkan program-program pengembangannya untuk jangka waktu tertentu yang mungkin berbeda dari sekolah lain. MBS dikembangkan dengan kesadaran bahwa setiap sekolah memiliki kondisi dan situasi serta kebutuhan yang berbeda-beda. 
b. Pelibatan Masyarakat
Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan keberadaan sekolah agar tetap survive, diharapkan peranan orang tua cukup peka terhadap financial, dalam arti mengembangkan semangat solidaritas. Semangat solidaritas yang mesti dibangun adalah bahwa yang berkemampuan diharuskan membantu yang kekurangan, jangan sampai ada peserta didik yang gagal sekolah disebabkan oleh ketidakmampuan orang tua dalam membiayai sekolah nakanya. Begitu juga terhadap infrastruktur lain, sungguh sangat ideal jika kesadaran orang tua dan masyarakat mempunyai solidaritas sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing untuk terus-menerus menghidupi sekolah dalam banyak aspek, sehingga sekolah tersebut akan terus eksis.
c. Pemberdayaan Sekolah 
Masih menyangkut konsekuensi dari pelaksanaan otonomi pendidikan, setiap unit sekolah harus berusaha keras untuk dapat melayani tuntutan masyarakat pemakai jasa pendidikan. Perlu diingatkan kembali bahwa focus pelayanan atau pengabdian sekolah bukan untuk birokrasi, melainkan demi masyarakat yang dilayaninya, khususnya orang tua dan peserta didik. Ingatkan juga bahwa sekolah hanya lembaga pembantu pendidikan keluarga. Pendidik utama adalah orang tua, sedangkan sekolah adalah pendidik kedua, dan jangan dibalik, walaupun masih banyak kendala untuk mewujudkan cita-cita ini. Persoalan yang muncul untuk direfleksikan terutama oleh para pengelola sekolah adalah sekolah yang dikelola masih mempunyai daya tarik, daya saing, dan daya tahan. Apabila sekolah tersebut masih mempunyai daya tarik, daya saing, dan daya tahan, pemberdayaan sekolah masih dapat dilaksanakan secara optimal karena masih diminati oleh masyarakat. Namun, apabila sekolah tersebut sudah tidak punya daya tarik, daya saing, dan daya tahan lagi, sebaiknya sekolah tersebut ditutup saja daripada mengecewakan pihak pemakai dan tidak bertanggung jawab terhadap generasi penerus. 
Sebuah sekolah dianggap mempunyai daya tarik, daya saing, dan daya tahan, paling tidak mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
1. Sekolah tersebut proses pembelajarannya bermutu dan hasilnya juga bermutu.
2. Sekolah tersebut biayanya sebanding dengan mutu yang diperlihatkannya.
3. Sekolah tersebut memiliki etos kerja tinggi dalam arti komnitas pendidikan tersebut telah mepunyai kebiasaan untuk bekerja keras, mandiri, tertib, disiplin, penuh tanggung jawab, objektif dan konsisten.
4. Sekolah tersebut dari segi keamanan secara fisikdan psikologis terjamin, dalam arti kompleks sekolah tersebut sungguh-sungguh menanamkan sikap ramah lingkungan untuk hidup tertib, indah, rapi, aman, rindang, nyaman dan menjadikan orang betah disekolah.
5. Sekolah tersebut di dalamnya tercipta suasana yang humanis, terpeliharanya buadaya dialog, komunikasi, latihan bersama, dan adanya teman sejawat.
d. Orientasi pada Kualitas
Seiring dengan perkembangan yang terus berubah menuju ke arah kemajuan, dalam era persaingan yang semakin bebas seperti saat ini, yang dapat bertahan hanyalah yang mempunyai kualitas tertentu. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga pendidikan yang tidak berkualitas lama-kelamaan akan ditinggalkan orang dan tersingkir dengan sendirinya. Dia tidak akan mampu lagi bertahan. Berkualitas disini mencakup berbagai bidang, misalnya (1) berkualitas dalam bidang pembelajaran, (2) berkualitas dalam bidang pelayanan, (3) berkualitas dalam bidang saranan prasarana yang disediakan. 


e. Meniadakan Penyeragaman 
Dalam hal ini, sekolah pada dasarnya mendapat kesempatan untuk menentukan sendiri kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan, dengan tujuan lebih meningkatkan kualitas dan daya tarik sekolah tersebut. 
Dengan memperhatikan hal tersebut, jelas tidak diperlukan adanya penyeragaman antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain. Meskipun demikian, kemandirian-kemandirian itu harus bersifat inklusif dan tidak boleh eksklusif. Semuanya mempunyai tujuan akhir yang sama, yaitu demi mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 

Ø Manajemen Berbasis Sekolah Upaya Membangun Otonomisasi Sekolah
MBS merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah, kebijakan, serta jalannnya pendidikan didaerah masing-masing. Oleh karena itu, keberhasilan dalam pelaksanaan MBS sangat ditentukan oleh perwujudan kemandirian manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan kota. Disamping itu, MBS juga merupakan model pengelolaan pandidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan. 
MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. MBS berpotensi menawarkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen untuk menjamin bahwa semakin rendahnya control pemerintah pusat, tetapi semakin meningkatnya otonomi sekolah untuk menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan dan mengelola sumber daya yang ada disekolah untuk berinovasi dan berimprovisasi. 
Kehadiran MBS di Indonesia dilatarbelakangi oleh fakta yang menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Rendahnya kualitas pendidikan ini ditandai dengan adanya beberapa indicator, diantaranya pelajar dan mahasiswa Indonesia tidak dapat bersaing di taraf internasional, peringkat sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia belum bisa menduduki peringkat atas; lulusan sekolah dan perguruan tinggi tidak sanggup berkompetisi dalam merebut pasaran nasional maupun internasional; dan yang paling parah lagi lulusan pendidikan kita tidak dapat membentuk manusia yang bertanggung jawab, jauh dari harapan dan cita-cita pendidikan nasionalnya. 
Berikut ini akan dijelaskan hal-hal pokok dari karakteristik MBS :
1. Otonomi Sekolah 
  Sebagaimana dikemukakan terdahulu, otonomi diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian, yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak tergantung dengan orang lain. Kemaandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik; kemampuan berdemokrasi; kemampuan memobilisasi sumber daya; kemampuan memecahkan persoalan sekolah; kemapuan adaptif dan antisipasif; kemampuan bersinerg dan berkolaborasi; dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri. 
2. Fleksibilitas
 MBS menekankan kepada manajemen sekolah yang fleksibel dan responsive. Fleksibelitas disini dimaksudkan adalah kemampuan sekolah melakukan inovasi dan kreativitas mengelola lingkungan sekolah dan memotivasi para staf dan guru. Fleksibilitas juga merupakan kemampuan melakukan peubahan dan kecepatan mengikuti perkembangan IPTEK dan fasilitas yang dipergunakan sekolah, serta responsive yakni cepat tanggap dan mampu melayani kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Semua itu sangat berpengaruh terhadap kinerja sekolah.
3. Kerjasama
  MBS yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan menuntut adanya kerjasama dan pertemanan antara staf yang ada di dalam sekolah. Dampaknya akan menguntungkan anak didik, khususnya pentingnya team work dalam proses belajar mengajar. 
4. Peningkatan Partisipasi
 Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratis. Peningkatan mutu dengan peningkatan partisipasi dilandasi dengan keyakinan jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. 
5. Implementasi MBS 
 Konteks manajemen pendidikan menurut MBS berbeda dari manajemen pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah pusat. Sebaliknya, manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber daya yang oleh sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula diatur oleh birokrasi diluar sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah itu sendiri. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka dalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan lingkungan stempat. 
6. Hubungan MBS dan Desentralisasi Pendidikan 
 Pada dasarnya MBS merupakan inti dari pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi dalam pendidikan adalah kewenangan dalam hal penanganan isu-isu manajemen pendidikan di daerah dan pengambilan keputusan dengan melibatkan stakeholder tanpa keluar atau menyimpang dari peraturan pemerintah pusat. Konsep MBS dikembangkan atas dasar hasil pengkajian dan penelitian yang didasarkan adanya kecenderungan desentralisasi pendidikan. Konsep MBS ternyata memberikan hasil pendidikan yang lebih baik daripada system sentralisasi atau terpusat.
 Dalam hubungannya dengan desentralisasi pendidikan ini, adalah MBS memberikan kewenangan kepada sekolah, manajemen persekolahan, pengelolaan kelas, optimalisasi kerjasama dan pemberian kesempatan yang kreatif dan inovatif kepada sekolah. Keputusan-keputusan sekolah yang didesentralisasikan antara lain meliputi hal-hal yang berhubungan langsung dengan siswa, keputusan mengenai pengalokasian waktu7, program sekolah, kurikulum, dan kelembagaan. 

Ø Pemberdayaan Komite Sekolah
  Komite Sekolah yang berkedudukan di setiap satuan pendidikan, merupakan badan mandiri yang tidak memiliki hubungan hierarkis dengan lembaga pemerintahan. Komite sekolah dapat terdiri dari satuan pendidikan atau berupa satuan pendidikan dalam jenjang yang sama, atau beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenjang, tetapi berada pada lokasi yang berdekatan, atau satuan-satuan pendidikan yang dikelola oleh suatu penyelenggara pendidikan atau karena pertimbangan lain. Adapun tujuan komite sekolah yaitu (1) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan disatuan pendidikan, (2) meningkatkan tanggung jawab dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan (3) menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan. 
  Adanya sinergi antara komite sekolah dengan sekolah menyebabkan lahirnya tanggung jawab bersama antar sekolah dan masyarakat sebagai mitra kerja dalam membangun pendidikan. Dengan pemberdayaan komite sekolah secara optimal, termasuk dalam mengawasi penggunaan keuangan, transparasi penggunaan alokasi dana dapat lebih dipertanggungjawabkan. Pengembangan pendidikan secara lebih inovatif jugaakan semakin memungkinkan, disebabkan lahirnya ide-ide cemerlang dan kreatif semua pihak terkait (stakeholder) pendidikan yang bersangkutan.  
  Dengan demikian, komite sekolah dihadapkan dengan realitas jalan yang panjang yang harus ditempuh secara berthapa. Kondisi demikian memerlukan komitmen dan dukungan fasilitasi yang konsisten dan berkesinambungan. Pihak-pihak terkait perlu mengukur dari waktu ke waktu dan ditindaklanjuti dengan proses yang serasi pada kondisi lokalnya, seperti apa yang sudah berhasil dicapai, apa yang masih kurang, dan apa prospek ke depan dari keberadaan fungsi komite sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, keberadaan komite sekolah di samping benar-benar diperlukan, juga diharapkan dapat berjalan efektif dan efisien. 
  Struktur kepengurusan komite sekolah ditetapkan berdasarkan AD/ART yang sekurang-kurangnya terdiri atas seorang ketua, sekretaris, dan bendahara. Apabila dipandang perlu, kepengurusan dapat dilengkapi dengan bidang-bidang tertentu sesuai dengan kebutuhan yang ada. Selain itu, dapat pula diangkat petugas khusus yang menangani urusan administrai. 

Ø Otonomi Pendidikan dan Pengelolaan Manajemen Sistem Pendidikan
  Keberhasilan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikannya sangat ditentukan oleh manajemen pendidikan yang dijalankan disekolah yang bersangkutan. Manajemen pendidikan merupakan bentuk kerja sama personel pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Tujuan umum yang akan dicapai dalam kerja sama adalah pembentukan kepribadian siswa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan tingkat perkembangannya pada usia pendidikan. Tujuan ini dijabarkan kedalam tujuan antara, yaitu tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum, tujuan instruksional khusus. 
  Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah semestinya mempunyai organisasi yang baik agar tujuan pendidikan dapat tercapai sepenuhnya. Organisasi sekolah yang baik menghendaki tugas-tugas dan tanggung jawab dalam menjalankan penyelenggaraan sekolah untuk mencapai tujuannya dibagi secara merata dengan baik sesuai dengan kemampuan, fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan. Melalui struktur organisasi yang ada btersebut orang akan mengetahui apa tugas dan wewenang kepala sekolah, apa tugas guru, apa tugas karyawan, dan lain-lain. Demikian juga terlihat apakah di suatu sekolah dibentuk satuan unit tertentu seperti bagian UKS, bagian perpustakaan, bagian kepramukaan, laboratorium, computer, dan sebagainya sehingga keadaan ini akan memperlancar jalannya roda pendidikan disekolah. 
  Melalui organisasi yang baik dapat dihindari tindakan kepala sekolah yang menunjukkan kekuasaan yang berlebihan, suasana kerja dapat lebih berjiwa demokratis karena timbulnya partisipasi aktif dari semua pihak yang bertanggung jawab. 
  Dalam konteks manajemen pendidikan, dengan didominasi organisasi pendidikan oleh personel fungsional, maka jenjang pangkat lebih terbuka sehingga di dalam satuan organisasi pendidikan yang kecil bisa memiliki personel-personel dengan jenjang pangkat yang tinggi. Dilihat dari prosesnya, manajemen personel mencakup mulai dari pengadaan, pengangkatan, pembinaan, pengawasan, pemberhentian, dan penugasan, yang perlu dicermati untuk memperoleh system manajemen personel yang paling cocok dalam pendidikan, dan kalau perlu justru meningkatkan mutu proses pendidikan. 
ü Manajemen Kurikulum
  Salah satu tugas sekolah adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku. Dengan demikian, pemahaman terhadap kurikulum sampai denga strategi pelaksanaannya sangat penting. Pengelolaan kurikulum harus diarahkan agar proses pembelajaran berjalan dengan baik, dengan tolak ukur pencapaian tujuan oleh siswa. Yang menjadi perhatian adalah bagaimana strateginya agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.  
  Untuk mengembangkan kurikulum pendidikan professional, setidaknya ada dua pendekatan integrative dan pendekatan kompetensi. Pendekatan integrative berusaha menyusun kurikulum dengan mengintegrasikan cirri pendidikan formal disekolah dengan ciri pendidikan nonformal untuk memberikan keterampilan didunia kerja. 
  Dalam upaya melihat progress pencapaian kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses tes yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup aspek-aspek kognitif, afektif, psikomotor. 
ü Manajemen Sarana dan Prasarana 
` Untuk proses pengadaan sarana pendidikan, ada beberapa kemungkinan yang bisa ditempuh, yaitu (1) pembelian dengan biaya pemerintah, (2) pembelian dengan biaya dari SPP, (3) bantuan dari masyarakat lainnya. 
ü Manajemen Kesiswaan
 Berkenaan dengan manajemen kesiswaan, ada beberapa prinsip dasar yang harus mendapat perhatian berikut ini :
1. Siswa harus diperlakukan sebagai subjek bukan objek.
2. Keadaan dan kondisi siswa sangat beragam, ditinjau dari kondisi fisik, kemampuan intelektual, social, ekonomi, minat, dan sebagainya.
3. Pada dasarnya siswa hanya akan termotivasi belaja, jika mereka menyenangi apa yang diajarkan.
4. Pengembangan potensi siswa tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif dan psikomotor. 
ü Manajemen Pembiayaan 
 Paling tidak ada tiga persoalan pokok dalam manajemen pembiayaan pendidikan, yaitu (1) financing, menyangkut darimana sumber pembiayaan diperoleh, (2) budgeting, bagaimana dana pendidikan dana pendidikan dialokasikan, dan (3) accountability, bagaimana anggaran yang diperoleh digunakan dan dipertanggungjawabkan. 
 Pembiayaan sekolah adalah kegiatan mendapatkan biaya serta mengelola anggaran pendapatan dan belanja pendidikan terutama tingkat menengah, sebab untuk pendidikan dasar, berkenaan dengan adanya Wajib Belajar, semestinya pembiayaan dijamin pemerintah. Kegiatan ini dimulai dari perencanaan biaya, usaha untuk mendapatkan dana yang mendukung rencana it, penggunaan, serta pengawasan penggunaan anggaran yang sudah ditetapkan. 
ü Manajemen Kehumasan
Kegiatan humas disekolah tidak cukup hanya menginformasikan fakta-fakta tertentu dari sekolah yang bersangkutan, tetapi juga harus mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
1. Melaporkan tentang pikiran-pikiran yang berkembang dalam masyarakat tentang masalah pendidikan .
2. Membantu kepala sekolah bagaimana usaha untuk memperoleh bantuan dan kerja sama.
3. Menyusun rencana bagaimana cara-cara memperoleh bantuan.
4. Menunjukkan pergantian keadaan pendapatan umum.
Dengan demikian, humas pada dasarnya tidak hanya bersifat publisitas belaka, tetapi jauh dari itu bagaimana sekolah membangun jalinan kerja sama dengan pihak-pihak lain berupa networking, dimana kerja sama ini untuk kondisi sekarang merupakan sesuatu yang sangat vital dan penting dilakukan, dengan tujuan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan disekolah. 

Ø Otonomi Perguruan Tinggi
  Perguruan tinggi memerlukan otonomi bukan hanya otonomi dalam bentuk kebebasan akademik, tetapi juga otonomi kelembagaan dalam masalah-masalah manajemen, penyusunan program, dan anggaran. Dengan demikian, pendidikan tinggi tersebut sebagai lembaga akan bersifat kreatif dan menjadi pelopor perubahan baik di dalam masyarakat sekitarnya maupun di dalam kemajuan ilmu pengetahuan. 
  Dengan adanya otonomi lembaga pendidikan tinggi, maka dapat dipilah-pilih prinsip-prinsip mana yang dapat diterapkan dalam lingkungan pendidikan tinggi yang ada. Mengubah suatu system manajemen pendidikan tinggi tidaklah semudah sebagaimana yang digambarkan. Terdapat banyak kendala yang dihadapi di dalam penerapan suatu system. Selain itu, setiap perubahan system biasanya menuntut biaya dan persiapan yang matang, apalagi jika tidak tersedia sumber daya manusia yang diperlukan, maka setiap prinsip manajemen baru akan meminta biaya besar. 
  Namun demikian, dalam rangka penerapan otonomi perguruan tinggi terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi, yaitu (1) kualitas sumber daya manusia yang terbatas, (2) sikap dan budaya kerja yang kurang disiplin, (3) terbatasnya sumber daya emerintah untuk menyediakan biaya operasional tahap awal, (4) terbatasnya kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya dengan pembayaran SPP yang tinggi, (5) kurangnya kesabaran dosen, teknisi, dan tenaga administrasi untuk berjuang bersama denan penghargaan yang terbatas sebelum perguruan tinggi menghasilkan cukup dana dari usaha swadayanya. 
  Suatu pendidikan tinggi memerlukan otonomi bukan hanya ototnomi dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik seperti yang dikenal selama ini, tetapi juga otonomi lembaga di dalam masalah-masalah manajemen, penyusunan program, dan anggaran. Dengan demikian, perguruan tinggi tersebut sebagai lembaga akan bersifat kreatif dan menjadi pleopor perubahan baik di dalam masyarakat sekitarnya maupun di dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Otonomi perguruan tinggi bertujuan (1) untuk mengambil keputusan secara bebas sesuai dengan potensi dan kemajuan iptek; (2) untuk meningkatkan kualitas berbagai inovasi dalam iptek; (3) untuk meningkatkan kegaiatn social sebagai perwujudan salah satu tri dharma perguruan tinggi. 
  Pemberian otonomi klepada perguruan tinggi menyangkut bebarapa aspek sebagai berikut :
1. Otonomi eksternal, dalam bentuk pemberian status sebagai badan hokum, atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan BHMN (Badan Hukum Milik Negara).
2. Otonomi organisasi, perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk menetapkan struktur organisasi, termasuk menciptakan stuktur program studi dan kegiatan akademik serta merencanakan sumber daya.
3. Otonomi kelembagaan, dimana perguruan tinggi mempunyai kebebasan untuk menetapkan bagaimana fungsi dan kontribusi mereka dalam mengembangkan, melanggengkan, mentransimisikan, dan menggunakan ilmu pengetahuan. 
  Akuntabilitas suatu lembaga pendidikan tinggi berarti sejau mana lembaga tersebut mempunyai makna dari the shareholder lembaga tersebut, yaitu masyarakat. Dalam upaya meningkatkan akuntabilitas perguruan tinggi, perlu ditingkatkan partisipasi mesyarakat didalam pengelolaannya. Hal ini berarti masyarakat merasa memiliki dan karenanya aktif menunjang pengembangannya. Konteksnya dengan hal itu, berartio perguruan tinggi berfungsi tidak hanya sebagai pengembang dan tempat menggali ilmu pengetahuan, tetapi lebih jauh bisa dikatakan sebagai industri kebutuhan-kebutuhan perkembangan ekonomi atau tenaga kerja yang diiperlukan oleh daerah dimana lembaga pendidikan tinggi itu berada. 
  Pengelolaan sumber daya manusia merupakan isu sentral dalam pengelolaan perguruan tinggi. Oleh karena itu, sebuah perguruan tinggi harus dapat menghasilkan SDM yang mampu : (1) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, (2) mengolah potensi-potensi pembangunan, (3) meningkatkan produktivitas, modal, dan investasi, serta (4) SDM yang diperlukan dan termotivasi untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan. 
  Akhirnya, dalam upaya meningkatkan peran dan kualitas perguruan tinggi ke depan, akuntabilitas dan kemandirian perguruan tinggi merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, para penyelenggara pendidikan tinggi sekarang perlu melakukan instropeksi dan retropeksi sejauh amna hal tersebut sudah dilakukan. Perguruan tinggi yang memerhatikan akuntabilitas sdah pasti akan melibatkan partisipasi masyarakat.Dalam hal ini, tidak saja dalam bentuk pengelolaan, tetapi juga program-program yang dikembangkan perguuan tinggi harus menyahuti dan mempunyai relevansi dengan berbagai kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya. 

Ø Otonomi di Lembaga Pendidikan Islam
 Pendidikan Islam menjadi salah satu isu penting dalam setiap pembahasan yang menyangkut kehidupan umat Islam. Itulah sebabnya berbagai pertemuan ilmiah baik yang berskala lokal sampai internasional mengenai pendidikan Islam sudah sekian banyak dilaksanakan. Dalam konteks akademik, realitas itu jelas merupakan upaya percepatan dalam rangka memperkaya dan mengukuhkan bangunan teoretis kependidikan Islam, lebih-lebih dengan sentuhan ideologis, kalangan akademik pun turut serta dalam mengoperasikan cita-cita kependidikan Islam yang dalam hal ini tentu saja dalam konteks pendidikan di Indonesia. 
 Secara historis pendidikan Islam tidak bida dipisahkan dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pendidikan Islam (pesanten kemudian disusul madrasah) merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang ada di Indonesia. Pengakuan secara yuridis terhadap kelembagaan pendidikan Islam dengan ciri khasnyabaru dapat dilihat dengan kehadiran UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam UU tersebut, pendidikan madrasah diakui sebagai subsistem pendidikan nasional sebagaimana juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, dan PP No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.
 Dari perjalanan historisnya tersebut, meskipun pendidikan Islam tidak jarang mendapatkan tekanan dan kurang mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah, namun pendidikan Islam telah berhasil survive di dalam berbagai situasi dan kondisi mengarungi masa-masa sulitnya. Hal demikian menyebabkan pendidikan Islam menyandang berbagai jenis nilai luhur, seperti berikut :
1. Nilai historis, di mana pendidikan Islam telah survive baik pada masa kolonial hingga zaman kemerdekaan. 
2. Nilai religius, pendidikan Islam di dalam perkembangannya tentunya telah memelihara dan mengembangkan nilai-nilai agama Islam sebagai salah satu nilai budaya bangsa Indonesia.
3. Nilai moral, pendidikan Islam tiidak diragukan lagi sebagai pusat pemelihara dan pengembangan nilai-nilai moral yang berdasarkan agama Islam. 
 Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan Islam, diantaranya madrasah, lahir dari dan untuk masyarakat> Meskipun dalam perkembangannya madrasah dikelola oleh yayasan, pengurus, bahkan perorangan, kehidupan madrasah telah ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya. 
 Dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi pendiidkan, pada dasarnya keberadaan peantren tidak banyak yang berubah sebab sebagai konsekuensi dari desentralisasi pendidikan adalah diserahkannya kembali pendidikan kepada masyarakat yang memilikinya, sementara pesantren sudah sejak lama berada di tengah-tengah masyarakat, didirikan oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Oleh karena itu, yang perlu dibenahi hanya dalam hal-hal bagaimana agar pesantren tidak ketinggalan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai perubahan yang terjadi. 

RESUME

br 1. DATA BUKU :

· Judul Buku : Otonomi Pendidikan 
Kebijakan Otonomi dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan 
· Penulis : Hasbullah
· Penerbit : PT. RajaGrafindo Persada 
· Tebal Buku : 230 Halaman
· Cetakan : Pertama
· Tahun Terbit : Januari 2006

2. RESUME :

 Kehadiran Undang-Undang Otonomi Daerah telah membawa sejumlah perubahan dalam tatanan pemerintahan, terutama dengan diserahkannya sejumlah kewenangan kepada daerah, yang semula menjadi urusan pemerintahan pusat. Salah satunya adalah dibidang pendidikan. Kewenangan tersebut menuntut adanya perubahan berupa pembaruan sistem pendidikan yang sekian lama dikelola secara sentralistik oleh pemerintah pusat dengan menafikan keragaman, perbedaan, kultur, agama, dan sebagainya yang menyebabkan terpuruknya kualitas pendidikan di Indonesia.
 Banyak orang beranggapan bahwa pelaksanaan otonomi daerah memberikan harapan akan perbaikan penyelenggaraan pendidikan yang pada gilirannya meningkatkan kualitas output nya. Namun, ternyata harapan itu menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah banyak pemegang kebijakan yang pola pikir masih sangat prosedural, serba juklak, juknis, sehingga mengahambat lahirnya kreativitas, motivasi, dan upaya-upaya inovatif.
 Buku ini memaparkan berbagai perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai akibat diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah ini diharapkan mampu mebuka wawasan tentang arti pentingnya otonomi dibidang pendidikan. Konsep-konsep tentang desentralisasi pendidikan, peningkatan kapasitas otonomisasi sekolah, pelaksaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), pemberdayaan komite sekolah, pengelolaan sistem manajemen pendidikan disekolah, otonomi perguruan tinggi dan otonomi pada lembaga-lembaga pendidikan Islam yang diuraikan dalam buku ini sangat perlu dipahami oleh pemegang kebijakan, pelaku dibidang pendidikan dan masyarakat selaku stakeholder dalam pengelolaan pendidikan. Dengan demikian, diharapkan penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih baik dan kualitas lulusannya dapat lebih ditingkatkan. 

Ø Konsep Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
Perkataan otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hokum atau aturan (Abdurrahman, 1987 : 9). Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan sebagai zelfwetgeving atau ‘pengundangan sendiri’ (Danuredjo, 1977). Secara konseptual banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh pakar penulis, diantaranya Syarif Saleh (1963) mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat. 
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 ayat (5) dikemukakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, suatu masyarakat yang lebih adil dan lebih sejahtera. 
Desentralisasi diartika sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004). Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi, dan penghormatan terhadap budaya lokal, serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. 
Kewenangan pengelolaan pendidikan berubah dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Desentralisasi pendidikan berarti terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendiidkan (Abdul Halim, 2001 : 15). Desentralisasi pendidikan merupakan sebuah sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinnekaan. Menurut Santoso S. Hamijoyo (1993 : 3), ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yaitu (1) pola dan pelaksanaan manajemen harus demokratis; (2) pemberdayaan masyarakat harus menjadi tujuan utama; (3) peranserta masyarakat bukan hanya pada stakeholders; (4) pelayanan harus lebih cepat, efisien, efektif, melebihi pelayanan era sentralisasi demi kepentingan peserta didik dan rakyat banyak; dan (5) keanekaragaman aspirasi dan nilai serta norma local harus dihargai dalam kerangka dan demi penguatan sistem pendidikan nasional.  
Dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan tidak berhenti pada tingkat kabupaten/kota, tetapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan. Dalam praktik desentralisasi pendidikan itulah maka dikembangkanlah yang dinamakan Manajemen Berbasis Sekola (MBS). Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan manajemen berbasis sekolah, sebenarnya merupakan kecenderungan internasional yang dipraktikkan di banyak negara, dan untuk Indonesia merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan dan sumber daya manusia yang belakangan ini dirisaukan banyak pihak, terutama bila dilihat dari beberapa laporan hasil survey dan lembaga-lembaga independent dunia, menempatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia pada urutan bawah, jauh dibawah Negara-negara tetangga seperti Singapore, Malaysia, Thailand dan bahkan Philipina. Dalam konteks desentralisasi ini, peran serta masyrakat sangat diperlukan. Aparatur pendidikan baik di pusat maupun di daerah, berperan penting dalam peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas masyarakat untuk membangun pendidikan yang mandiri dan profesional.  

Ø Kebijakan Desentralisasi Pendidikan dan Kendala Pelaksanaannya 
Sejalan dengan arah kebijakan otonomi dan desentralisasi yang ditempuh oleh pemerintah, tanggung jawab pemerintah daerah akan meningkat dan makin luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah diharapkan untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan. Kendatipun sentralisasi pendidikan disatu sisi mempunyai nilai positif, paling tidak dalam hal ini tercapainya standar mutu secara nasional, namun di sisi lain mempunyai dampak yang tidak sedikit. Akibat sentralisasi, sekolah tidak memiliki kebebasan mengembangkan diri, sekolah yang baik akan terhambat karena dipaksa mengikuti aturan-aturan pemerintah pusat, para guru menjadi sekadar pelaksana petunjuk, sehingga tidak kreatif mendampingi anak didik. Pada gilirannya, sekolah-sekolah akan memanipulasi laporan demi kebaikannya dan demi tuntutan pusat yang tidak memerhatikan kepentingan lokal. 
Dengan demikian, melihat plus minus nya bagaimanapun desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan, disamping tentunya sejumlah peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan menuntut untuk dilaksanakan. Meskipun demikian, pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Departemen Pendidikan Nasional tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan, yaitu otonomi di tingkat sekolah. 
Untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh wilayah Indonesia tampaknya mengalami banyak kesulitan, karena sejumlah masalah dan kendala yang perlu diatasi. Masalah-masalah yang berkaitan dengan substansi manajemen pendidikan dan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
ü Masalah Kurikulum
Dalam konteks otonomi daerah, kurikulum suatu lembaga pendidikan tidak sekedar daftar mata pelajaran yang dituntut di dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan. Dalam pengertian yang luas, kurikulum berisi kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran tertentu, juga berkenaan dengan proses yang terjadi di dalam lembaga (proses pembelajaran), fasilitas yang tersedia yang menunjang terjadinya proses, dan akhirnya produk atau hasil dari proses tersebut. 
Kurikulum sekolah yang amat terstruktur dan sarat beban menyebabkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril terhadap keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan soial yang berkembang dalam masyarakat. Akibatnya, proses pendidikan menjadi rutin, tidak menarik, dan kurang mampu memupuk kreativitas murid untuk belajar serta guru an pengelola pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan pendekatan belajar yang inovatif. Kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum kelembagan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat, yaitu kelembagan pendidikan yang bersandarkan pada komunitas masyarakat. Dalam kaitan manajemen kurikulum, peningkatan relevansi dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat antara lain perlu dilakukan manajemen kurikulum yang berangkat dari suatu prediksi yang dapat memberikan gambaran dan keadaan masyarakat beberapa tahun mendatang. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan harus tetap dijaga agar selalu responsive dalam mengikuti perkembangan teknologi yang menunjang pelaksanaan tugas lulusan dilapangan. 
ü Masalah Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber daya manusia merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan implementasi desntralisasi pendidikan. Banyak kekhawatiran dalam bidang kesiapan SDM ini, diantaranya belum terpenuhinya lapangan kerja dengan kemampuan sumber daya yang ada. Prinsip “the right man on the right place” semakin jauh dari pelaksnaannya. 
Sejak dilaksanakannya otonomi daerah, pengelolaan sumber daya manusia di daerah baik di provinsi, kabupaten, dan kota memang cukup memprihatinkan. Pimpinan daerah yang kekuasaannya sangat besar kadang-kadang menempatkan “orang-orangnya” secara serampangan dan jarang memperhatikan aspek profesionalisme. Koordinasi lembaga juga agak terhambat karena tidak ada hubungan secara hierarkis antara lembaga yang ada di tingkat kabupaten/kota dengan provinsi. 
Bagaimanapun sumber daya manusia yang kurang professional akan menghambat pelaksnaan system pendidikan. Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan kehliannya menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak professional. Banyak tenaga kependidikan yang latar belakang pendidikannya tidak relevan ditempatkan di dunia kerja yang ditekuninya. 
ü Masalah Dana, Sarana dan Prasarana Pendidikan
Persoalan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan system pendidikan di Indonesia, dan dana juga merupakan salah satu syarat atau unsure yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikan nasional rendah karena dana yang tidak mencukupi, anggaran untuk pendidikan maish terlalu rendah. 
 UU Nomor 20 Tahuin 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebenarnya sudah mengamanatkan tentang pentingnya alokasi anggaran dana untuk pembiayaan dan pembangunan pendidikan ini. Dalam pasal 49 ayat (1) dikemukakan bahwa, “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. 
 Sayangnya, amanat yang jelas-jelas memiliki dasar dan paying hukum tersebut dengan berbagai dalih dan alasan sampai saat ini masih belum bisa dilaksnakan. Dana masyarakat yang selama ini digunakan untuk mebiayai pendidikan belum optimal teralokasikan secara proposional sesuai dengan kemampuan daerah. Terserapnya dana masyarakat ke pusat membuat daerah menjadi semakin tidak berdaya membiayai penyelenggaraan pendidikan. Sarana dan prasarana penididikan sangat tergantung pengadaannya dari pemerintah pusat. 
 Sementara itu, dalam konteks pembiayaan, dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka anggaran pendidikan dialokasikan pada APBD. Terlihat jelas penurunan biaya penyelenggaraan pendidikan. Hal ini disamping pemahaman pimpinan daerah terhadap pendidikan, banyak yang masih sangat terbatas, tidak jarang mereka juga menempatkan pembangunan pendidikan bukan berada pada skala prioritas. Dalam konteks ekonomi, pada dasarnya pendidikan merupakan investasi panjang yang hasilnya tidak bisa dilihat satu dua tahun, tetapi jauh ke depan. Sebagai suatu investasi produktif, mestinya pembangunan pendidikan harus memperhitungkan dua konsep utama, yaitu biaya (cost) dan manfaat (benefit) pendidikan. Berkaitan dengan biaya pendidikan ini sendiri, menurut Ace Suryadi (2004 : 181) terdapat empat agenda kebijakan yang perlu mendapat perhatian serius, yaitu : (1) besarnya anggaran pendidikan yang dialokasikan (revenue); (2) aspek keadilan dalam alokasi anggaran; (3) aspek efisien dalam pendayagunaan anggaran; (4) anggaran pendidikan dan desentralisasi pengelolaan. 
ü Masalah Organisasi Kelembagaan
 Di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 pasal 4 ayat (2) dikemukakan bahwa masing-masing daerah provinsi, kabupaten/kota, berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki termasuk dibidang pendidikan. Proses desentralisasi kelembagaan pendidikan merupakan proses yang cukup rumit. Hal ini sebagaimana yang digambarkan Soewartoyo, dkk (2003 : 80-81) disebabkan beberapa faktor, yaitu :
1. Desentralisasi kelembagaan pendidikan akan menciptakan suatu siste pendidikan dengan kebijakan-kebijakan yang faktual;
2. Desentralisasi kelembagaan pendidikan harus mengelola sumber dayanya sekaligus memanfaatkannya;
3. Desentralisasi kelembagaan pendidikan harus melatih tenaga kependidikan dan tenaga pengelola tingkat lapangan yang professional;
4. Desentralisasi kelembagan pendidikan harus menyusun kurikulum yang tepat guna;
5. Desentralisasi kelembagaan pendidikan juga harus dapat mengelola sistem pendidikan yang didasarkan pada kehidupan social budaya setempat;
Kelembagaan pendidikan yang memiliki orientasi pada masyarakat, serta setidaknya dimiliki oleh komunitas masyarakat lokal, menuntut kelembagaan-kelembagaan yang baru berdasarkan paradigma pengembangan kelembagaan-kelembagaan yang terkait dengan kelembagaan pendidikan daerah. 
ü Masalah Perundang-undangan
  Bagaimanapun masalah sentralisasi, dekonsentrasi, dan desntralisasi dalam pemerintahan mempunyai implikasi langsung terhadap penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, terutama yang berkaitan dengan masalah kebijakan, manajemen, mutu, kontrol, dan sumber-sumber dana pendidikan. Penyelenggaraan system pendidikan nasional untuk masa kini, selain telah memiliki perangkat pendukung perundang-undangan nasional, juga dihadapkan sejumlah faktor yang menjadi tantangan dalam penerapan desentralisasi pendidikan di daerah. 
  Pengaturan otonomi daerah dalam bidang pendidikan secara tegas telah dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Ini berarti bahwa tugas dan beban pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menangani layanan pendidikan yang besar dan berat, terutama bagi daerah yang kemampuan diri (capacity building) dan sumber daya pendidikannya kurang.
  Sesuai dengan misi pendidikan nasional yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan merespons perkembangan global pada abad ke-21, maka arah kebijakan pendidikan nasional ke depan tetap mengacu pada tiga hal, yaitu :
1. Perluasan dan pemerataan layanan pendidikan yang bermutu;
2. Peningkatan mutu pembelajaran dal lembaga pendidikan;
3. Perbaikan kapasitas dan manajemen pendidikan.
Upaya peningkatan akses dan pemerataan pendidikan, khususnya pada tingkat pendidikan dasar, merupakan titik rawan yang masih perlu mendapatkan perhatian di era otonomi daerah sekarang ini, termasuk tentunya kualitas pendidikan. Kondisi seperti ini, akan semakin parah bilamana daerah tidak mengantisispasi dan mengoptimalkan sumber daya daerah yang tersedia untuk meningkatkan mutu pendidikannya. Oleh sebab itu, upaya-upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran siswa, kemampuan profesionalisme guru, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan yang mendukung kinerja sekolah, perlu mendapatkan perhatian serius bagi pemerintah daerah. 
ü Masalah Pembinaan dan Koordinasi
UU Nomor 32 Tahun 2004 pada dasarnya mengamanatkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah berkewajiban untuk melakukan pembinaan-pembinaan agar permasalahan yang muncul dapat diminimalisasi. Disamping pembinaan, koordinasi juga sangat diperlukan bagi daerah, hal ini terutama untuk menghindari seperti terjadinya tumpang tindih program, gap antardaerah, dan sebagainya.  
Meskipun desentralisasi sudah ada dalam peraturan dan regulasi otonomi daerah, tetapi dalam kelembagaan dan sikap akademik guru, kepala sekolah dan jajaran Dinas Pendidikan sebagai atasannya belum sinkron. Pemerintah daerah belum menunjukkan penampilan dan cara kerja yang jelas, dan yang mereka lakukan masih pada pemanfaatan dana, bukan pada “academic activity”.

Ø Implikasi Umum Desentralisasi Pendidikan
Hakikat desentralisasi dan otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang yang disertai keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan sedemikian rupa sehingga pelayanan kepada masyarakat akan menjadi lebih baik, dan pembangunan daerah dapat lebih terarah serta optimal. Ternyata desentralisasi dan otonomi pendidikan tidaklah sederhana, karena menyangkut berbagai pihak yang berkepentingan; berbagai dimensi yang berkaitan satu sama lain; serta berbagai dinamika dengan cakupan yang sangat kompleks dan luas. Di sisi lain, perubahan yang demikian cepat akibat kebijaksanaan desentralisasi telah menempatkan pemerintah dan masyarakat daerah pada posisi “terpaksa siap” untuk menerima tanggung jawab baru. Namun demikian, permasalahan dalam pembangunan pelayanan pendidikan akan dapat teratasi sejalan dengan meluasnya pemahaman terhadap konsep, prinsip-prinsip, aturan pelaksanaan, serta berbagai permasalahan.
Kebijakan otonomi daerah dan tuntutan globalisasi jelas berpengaruh pada cakupan tugas dan tanggug jawab pihak daerah, termasuk mereka yang ditugasi untuk menyusun perencanaan pembangunan pendidikan. Indikator utama adalah bahwa setiap perencanaan program pendidikan harus sejalan dengan berbagai tujuan yang telah digariskan dalam GBHN maupun PROPENAS. Implikasi nyata dari tuntutan itu adalah penyusunan program yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah; dukungan mekanisme dan struktur organisasi yang memadai, memiliki tenaga yang professional dan dukungan data serta informasi yang relevan. 
Namun, hal yang harus terus diingat bahwa otonomi merupakan suatu terminologi dalam wilayah manajemen yang diperlukan agar suatu system dapat berjalan dan berfungsi secara lebih efisien dan efektif. Dengan demikian, otonomi daerah tidak justru menjadikan pemerintah daerah dapat berbuat sekehendaknya, tanpa memerhatikan rambu-rambu yang mesti ditaati bersama. Untuk keberhasilan pelaksanaan desentralisasi, sedikitnya ada empat hal yang mesti dipersiapkan, yaitu (1) peraturan dari tingkat daerah, provinsi, sampai ke tingkat kelembagaan; (2) pembinaan kemampuan daerah; (3) pembentukan perencanaan unit yang bertanggung jawab untuk menyusun perencanaan pendidikan; (4) perangkat sosial, berupa kesiapan masyarakat setempat untuk menerima dan membantu menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan desentralisasi pendidikan dimaksud.
Apabila hal-hal tersebut diatas belum mendapat perhatian secara optimal, bisa dipastikan pelaksanaan desentralisasi pendidikan akan menemui berbagai kendala. Implementasi otonomi pendidikan, disamping banyak memiliki sisi positifnya, perlu juga disadari oleh pelaku pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, bahwa pelaksanaan otonomi pendidikan akan membawa konsekuensi yang cukup berat, diantaranya sebagai berikut :
a. Dalam Bidang Pemerintahan 
 Dalam bidang ini, perlu terjadi pengaturan perimbangan kewenangan antara pusat dan daerah, dan masing-masing harus mempunyai komitmen tinggi untuk mewujudkannya. Sebab, berhasil tidaknya pelaksanaan otonomi daerah paling tidak ditentukan oleh tiga hal, yaitu (1) adanya political will and political commitment dari pemerintah pusat untuk benar-benar memberdayakan daerah; (2) adanya iktikad baik dari pemerintah dalam mebantu keuangan daerah; (3) adanya perubahan perilaku elit local untuk dapat membangun daerah. 
 Dalam bidang pendidikan, pemerintah pusat mempunyai komitmen untuk mengurus hal-hal strategis pendidikan pada tatanan nasional yang meliputi (1) pengembangan kurilkulum pendidikan nasional; (2) bantuan teknis; (3) bantuan dana; (4) monitoring; (5) pembakuan mutu; (6) pendidikan moral dan karakter bangsa; (7) pendidikan bahasa Indonesia. 
 Pemerintah daerah mempunyai komitmen untuk mengurus hal-hal operasional pendidikan, khususnya dalam pengelolaan pendidikan yang meliputi aspek-aspek (1) kelembagaan, (2) kurikulum, (3) sumber daya manusia, (4) pembiayaan, dan (5) sarana dan prasarana. 
 Bidang pemerintah in perlu mendapatkan perhatian karena masih banyak terjadi tumpang tindih antara kepengurusan hal-hal strategis pendidikan yang menjadi wewenang pemerintah pusat dan hal-hal operasional pendidikan yang menjadi wewenang pemerintah daerah.
  b. Dalam Bidang Sosial Budaya
 Dalam peningkatan mutu dan relevansi pendidikan pada dasarnya sangat diperlukan orientasi lokal yang bersifat kedaerahan, maupun kepentinganm nasional dan bahkan harus memiliki perspektif global. Perlunya memerhatikan persoalan bidang social budaya ini karena adanya gejala munculnya eksklusivisme kesukuan pada daerah tertentu, yang ingin menunjukkan sebagai daerah khusus, yang menutup untuk dialog secara plural dan inklusif. Dalam dunia pendidikan, tindakan “eksklusivisme” semacam ini cukup membahayakan bagi peserta didik. Apabila pengaruhnya terlalu besar dan mereka menginternalisasi nilai-nilai eksklusivistis yang ditanamkan, hal itu akan membuat rawan bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. 
 c. Dalam Bidang Pembelajaran 
 Pembelajaran merupakan tugas utama di sekolah, yang didalamnya terjadi proses pembelajaran, proses pelatihan, proses pelatihan, proses pembimbingan, dan proses penilaian. Guru harus terpanggil secara professional untuk menjalankan tugas teresbut secara integral. Dengan otonomi pendidikan ini para guru telah diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan bidang pembelajaran tersebut secara optimal sehingga potensi-potensi peserta didik bisa berkembang sebagaimana yang diharapkan. Guru harus bersikap proaktif dan kreatif kratif dalam pembelajaran, dan tidak hanya menunggu perintah dan petunjuk dari atasan ataupun pemerintah. 
 Hak otonomi pendidikan dalam pembelajaran, pembimbingan, pelatihan, dan sistem penilaian yang telah diberikan kepada sekolah dengan MBS tersebut sayangnya sampai sekarang masih belum bisa berjalan secara optimal. Pengabaian aspek afektif dan konatif ini sangat merugikan perkembangan peerta didik dalam mengadakan transformasi social dan budaya. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan dalam mewujudkan suasana yang semakin bersahabat, semakin bermatabat, dan semakin menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Jika dfemikian, sekolah yang melaksanakan otonomi masih sulit untuk menjadi agen dari pelaku perubahan
 d. Anggaran Pendidikan
 .Menyangkut anggaran pendidikan yang sangat keciltersebut, menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah benar-benar menempatkan investasi sumber daya manusia menjadi prioritas utama dalam meningkatkan daya saing di era global yang sangat kompetitif seperti seakarang. Namun, jika anggaran pendidikan berhasil ditingkatkan, pertanyaan berikutnya akan muncul yaitu apakah kenaikan anggaran pendidikan yang tiba-tiba tidak akan melahirkan ekses yang buruk, terutama dilihat dari efisiensi penggunaannya. Ini belum lagi ketika kita lihat realitas akan masih tingginya anka korupsi yang sangat kronis bagi bangsa ini. 
 Persoalan anggaran pendidikan sekarang memang sangat menjadi sorotan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, sebab meskipun paying hokum berupa undang-undang sudah mengisyaratkan anggaran pendidikan dengan minimal 20% diluar gaji APBN dan APBD, tetapi tampaknya khususnya bagi pemerintah daerah masih terlihat ogah-ogahan untuk menganggarkan pendidikan sebesar itu. Dengan berbagai alasan, kendatipun mereka menyatakan bahwa pendidikan merupakan hal sangat penting, dalan sector penganggaran pendidikan bukan merupakan prioritas yang mesti medapatkan perhatian utama. 
 e. Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan 
 Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan satuan pendidikan maupun lembaga pemerintah lainnya. Posisi Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, satuan pendidikan, dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya mengacu pada kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan yang berlaku. Untuk menjalani perannya, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memiliki fungsi yaitu mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan ynag bermutu. Badan itu juga melakukan kerjasama dengan masyarakat, baik perorangan maupun organisasi, dunia usaha dan dunia industri, pemerintah dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Fungsi lainnya adalah menampung dan menganalisis aspirasi, pandangan, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.  

Ø Peningkatan Kapasitas Otonomi Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (school based management) atau yang sering disebut dengan MBS sebagai konsep dasar manajemen pendidikan masa kini, merupakan konsep manajemen sekolah yang memberikan kewenangan, kepercayaan, dan tanggung jawab yang luas bagi sekolah berdasarkan profesionalisme untuk menata organisasi sekolah, mencari dan mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya pendidikan yang tersedia, serta memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan. 
 Sementara itu, community based education merupakan konsepsi yang memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya. Dalam upaya membangun otonomisasi pendidikan scara benar, maka dalam bidang pendidikan kiranya akan terbentuk pola manajemen pendidikan sebagai berikut :
a. Manajemen Berbasis Sekolah 
School based management atau MBS adalah sistem manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan sekolah setempat. Sekolah diharapkan mengenali seluruh infrastruktur yang berada disekolah. Dalam MBS, sekolah diharapkan mengenai kekuatan dan kelemahannya, potensi-potensinya, peluang dan ancaman yang dihadapinya, sebagai dasar dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan yang akan diambilnya. Berdasarkan analisis tersebut, lalu sekolah merumuskan kunsi sukses dan merumuskan visi, misi, sasaran dan menyusun strategi serta menetapkan program-program pengembangannya untuk jangka waktu tertentu yang mungkin berbeda dari sekolah lain. MBS dikembangkan dengan kesadaran bahwa setiap sekolah memiliki kondisi dan situasi serta kebutuhan yang berbeda-beda. 
b. Pelibatan Masyarakat
Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan keberadaan sekolah agar tetap survive, diharapkan peranan orang tua cukup peka terhadap financial, dalam arti mengembangkan semangat solidaritas. Semangat solidaritas yang mesti dibangun adalah bahwa yang berkemampuan diharuskan membantu yang kekurangan, jangan sampai ada peserta didik yang gagal sekolah disebabkan oleh ketidakmampuan orang tua dalam membiayai sekolah nakanya. Begitu juga terhadap infrastruktur lain, sungguh sangat ideal jika kesadaran orang tua dan masyarakat mempunyai solidaritas sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing untuk terus-menerus menghidupi sekolah dalam banyak aspek, sehingga sekolah tersebut akan terus eksis.
c. Pemberdayaan Sekolah 
Masih menyangkut konsekuensi dari pelaksanaan otonomi pendidikan, setiap unit sekolah harus berusaha keras untuk dapat melayani tuntutan masyarakat pemakai jasa pendidikan. Perlu diingatkan kembali bahwa focus pelayanan atau pengabdian sekolah bukan untuk birokrasi, melainkan demi masyarakat yang dilayaninya, khususnya orang tua dan peserta didik. Ingatkan juga bahwa sekolah hanya lembaga pembantu pendidikan keluarga. Pendidik utama adalah orang tua, sedangkan sekolah adalah pendidik kedua, dan jangan dibalik, walaupun masih banyak kendala untuk mewujudkan cita-cita ini. Persoalan yang muncul untuk direfleksikan terutama oleh para pengelola sekolah adalah sekolah yang dikelola masih mempunyai daya tarik, daya saing, dan daya tahan. Apabila sekolah tersebut masih mempunyai daya tarik, daya saing, dan daya tahan, pemberdayaan sekolah masih dapat dilaksanakan secara optimal karena masih diminati oleh masyarakat. Namun, apabila sekolah tersebut sudah tidak punya daya tarik, daya saing, dan daya tahan lagi, sebaiknya sekolah tersebut ditutup saja daripada mengecewakan pihak pemakai dan tidak bertanggung jawab terhadap generasi penerus. 
Sebuah sekolah dianggap mempunyai daya tarik, daya saing, dan daya tahan, paling tidak mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
1. Sekolah tersebut proses pembelajarannya bermutu dan hasilnya juga bermutu.
2. Sekolah tersebut biayanya sebanding dengan mutu yang diperlihatkannya.
3. Sekolah tersebut memiliki etos kerja tinggi dalam arti komnitas pendidikan tersebut telah mepunyai kebiasaan untuk bekerja keras, mandiri, tertib, disiplin, penuh tanggung jawab, objektif dan konsisten.
4. Sekolah tersebut dari segi keamanan secara fisikdan psikologis terjamin, dalam arti kompleks sekolah tersebut sungguh-sungguh menanamkan sikap ramah lingkungan untuk hidup tertib, indah, rapi, aman, rindang, nyaman dan menjadikan orang betah disekolah.
5. Sekolah tersebut di dalamnya tercipta suasana yang humanis, terpeliharanya buadaya dialog, komunikasi, latihan bersama, dan adanya teman sejawat.
d. Orientasi pada Kualitas
Seiring dengan perkembangan yang terus berubah menuju ke arah kemajuan, dalam era persaingan yang semakin bebas seperti saat ini, yang dapat bertahan hanyalah yang mempunyai kualitas tertentu. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga pendidikan yang tidak berkualitas lama-kelamaan akan ditinggalkan orang dan tersingkir dengan sendirinya. Dia tidak akan mampu lagi bertahan. Berkualitas disini mencakup berbagai bidang, misalnya (1) berkualitas dalam bidang pembelajaran, (2) berkualitas dalam bidang pelayanan, (3) berkualitas dalam bidang saranan prasarana yang disediakan. 


e. Meniadakan Penyeragaman 
Dalam hal ini, sekolah pada dasarnya mendapat kesempatan untuk menentukan sendiri kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan, dengan tujuan lebih meningkatkan kualitas dan daya tarik sekolah tersebut. 
Dengan memperhatikan hal tersebut, jelas tidak diperlukan adanya penyeragaman antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain. Meskipun demikian, kemandirian-kemandirian itu harus bersifat inklusif dan tidak boleh eksklusif. Semuanya mempunyai tujuan akhir yang sama, yaitu demi mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 

Ø Manajemen Berbasis Sekolah Upaya Membangun Otonomisasi Sekolah
MBS merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah, kebijakan, serta jalannnya pendidikan didaerah masing-masing. Oleh karena itu, keberhasilan dalam pelaksanaan MBS sangat ditentukan oleh perwujudan kemandirian manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan kota. Disamping itu, MBS juga merupakan model pengelolaan pandidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan. 
MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. MBS berpotensi menawarkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen untuk menjamin bahwa semakin rendahnya control pemerintah pusat, tetapi semakin meningkatnya otonomi sekolah untuk menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan dan mengelola sumber daya yang ada disekolah untuk berinovasi dan berimprovisasi. 
Kehadiran MBS di Indonesia dilatarbelakangi oleh fakta yang menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Rendahnya kualitas pendidikan ini ditandai dengan adanya beberapa indicator, diantaranya pelajar dan mahasiswa Indonesia tidak dapat bersaing di taraf internasional, peringkat sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia belum bisa menduduki peringkat atas; lulusan sekolah dan perguruan tinggi tidak sanggup berkompetisi dalam merebut pasaran nasional maupun internasional; dan yang paling parah lagi lulusan pendidikan kita tidak dapat membentuk manusia yang bertanggung jawab, jauh dari harapan dan cita-cita pendidikan nasionalnya. 
Berikut ini akan dijelaskan hal-hal pokok dari karakteristik MBS :
1. Otonomi Sekolah 
  Sebagaimana dikemukakan terdahulu, otonomi diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian, yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak tergantung dengan orang lain. Kemaandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik; kemampuan berdemokrasi; kemampuan memobilisasi sumber daya; kemampuan memecahkan persoalan sekolah; kemapuan adaptif dan antisipasif; kemampuan bersinerg dan berkolaborasi; dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri. 
2. Fleksibilitas
 MBS menekankan kepada manajemen sekolah yang fleksibel dan responsive. Fleksibelitas disini dimaksudkan adalah kemampuan sekolah melakukan inovasi dan kreativitas mengelola lingkungan sekolah dan memotivasi para staf dan guru. Fleksibilitas juga merupakan kemampuan melakukan peubahan dan kecepatan mengikuti perkembangan IPTEK dan fasilitas yang dipergunakan sekolah, serta responsive yakni cepat tanggap dan mampu melayani kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Semua itu sangat berpengaruh terhadap kinerja sekolah.
3. Kerjasama
  MBS yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan menuntut adanya kerjasama dan pertemanan antara staf yang ada di dalam sekolah. Dampaknya akan menguntungkan anak didik, khususnya pentingnya team work dalam proses belajar mengajar. 
4. Peningkatan Partisipasi
 Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratis. Peningkatan mutu dengan peningkatan partisipasi dilandasi dengan keyakinan jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. 
5. Implementasi MBS 
 Konteks manajemen pendidikan menurut MBS berbeda dari manajemen pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah pusat. Sebaliknya, manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber daya yang oleh sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula diatur oleh birokrasi diluar sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah itu sendiri. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka dalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan lingkungan stempat. 
6. Hubungan MBS dan Desentralisasi Pendidikan 
 Pada dasarnya MBS merupakan inti dari pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi dalam pendidikan adalah kewenangan dalam hal penanganan isu-isu manajemen pendidikan di daerah dan pengambilan keputusan dengan melibatkan stakeholder tanpa keluar atau menyimpang dari peraturan pemerintah pusat. Konsep MBS dikembangkan atas dasar hasil pengkajian dan penelitian yang didasarkan adanya kecenderungan desentralisasi pendidikan. Konsep MBS ternyata memberikan hasil pendidikan yang lebih baik daripada system sentralisasi atau terpusat.
 Dalam hubungannya dengan desentralisasi pendidikan ini, adalah MBS memberikan kewenangan kepada sekolah, manajemen persekolahan, pengelolaan kelas, optimalisasi kerjasama dan pemberian kesempatan yang kreatif dan inovatif kepada sekolah. Keputusan-keputusan sekolah yang didesentralisasikan antara lain meliputi hal-hal yang berhubungan langsung dengan siswa, keputusan mengenai pengalokasian waktu7, program sekolah, kurikulum, dan kelembagaan. 

Ø Pemberdayaan Komite Sekolah
  Komite Sekolah yang berkedudukan di setiap satuan pendidikan, merupakan badan mandiri yang tidak memiliki hubungan hierarkis dengan lembaga pemerintahan. Komite sekolah dapat terdiri dari satuan pendidikan atau berupa satuan pendidikan dalam jenjang yang sama, atau beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenjang, tetapi berada pada lokasi yang berdekatan, atau satuan-satuan pendidikan yang dikelola oleh suatu penyelenggara pendidikan atau karena pertimbangan lain. Adapun tujuan komite sekolah yaitu (1) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan disatuan pendidikan, (2) meningkatkan tanggung jawab dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan (3) menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan. 
  Adanya sinergi antara komite sekolah dengan sekolah menyebabkan lahirnya tanggung jawab bersama antar sekolah dan masyarakat sebagai mitra kerja dalam membangun pendidikan. Dengan pemberdayaan komite sekolah secara optimal, termasuk dalam mengawasi penggunaan keuangan, transparasi penggunaan alokasi dana dapat lebih dipertanggungjawabkan. Pengembangan pendidikan secara lebih inovatif jugaakan semakin memungkinkan, disebabkan lahirnya ide-ide cemerlang dan kreatif semua pihak terkait (stakeholder) pendidikan yang bersangkutan.  
  Dengan demikian, komite sekolah dihadapkan dengan realitas jalan yang panjang yang harus ditempuh secara berthapa. Kondisi demikian memerlukan komitmen dan dukungan fasilitasi yang konsisten dan berkesinambungan. Pihak-pihak terkait perlu mengukur dari waktu ke waktu dan ditindaklanjuti dengan proses yang serasi pada kondisi lokalnya, seperti apa yang sudah berhasil dicapai, apa yang masih kurang, dan apa prospek ke depan dari keberadaan fungsi komite sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, keberadaan komite sekolah di samping benar-benar diperlukan, juga diharapkan dapat berjalan efektif dan efisien. 
  Struktur kepengurusan komite sekolah ditetapkan berdasarkan AD/ART yang sekurang-kurangnya terdiri atas seorang ketua, sekretaris, dan bendahara. Apabila dipandang perlu, kepengurusan dapat dilengkapi dengan bidang-bidang tertentu sesuai dengan kebutuhan yang ada. Selain itu, dapat pula diangkat petugas khusus yang menangani urusan administrai. 

Ø Otonomi Pendidikan dan Pengelolaan Manajemen Sistem Pendidikan
  Keberhasilan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikannya sangat ditentukan oleh manajemen pendidikan yang dijalankan disekolah yang bersangkutan. Manajemen pendidikan merupakan bentuk kerja sama personel pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Tujuan umum yang akan dicapai dalam kerja sama adalah pembentukan kepribadian siswa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan tingkat perkembangannya pada usia pendidikan. Tujuan ini dijabarkan kedalam tujuan antara, yaitu tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum, tujuan instruksional khusus. 
  Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah semestinya mempunyai organisasi yang baik agar tujuan pendidikan dapat tercapai sepenuhnya. Organisasi sekolah yang baik menghendaki tugas-tugas dan tanggung jawab dalam menjalankan penyelenggaraan sekolah untuk mencapai tujuannya dibagi secara merata dengan baik sesuai dengan kemampuan, fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan. Melalui struktur organisasi yang ada btersebut orang akan mengetahui apa tugas dan wewenang kepala sekolah, apa tugas guru, apa tugas karyawan, dan lain-lain. Demikian juga terlihat apakah di suatu sekolah dibentuk satuan unit tertentu seperti bagian UKS, bagian perpustakaan, bagian kepramukaan, laboratorium, computer, dan sebagainya sehingga keadaan ini akan memperlancar jalannya roda pendidikan disekolah. 
  Melalui organisasi yang baik dapat dihindari tindakan kepala sekolah yang menunjukkan kekuasaan yang berlebihan, suasana kerja dapat lebih berjiwa demokratis karena timbulnya partisipasi aktif dari semua pihak yang bertanggung jawab. 
  Dalam konteks manajemen pendidikan, dengan didominasi organisasi pendidikan oleh personel fungsional, maka jenjang pangkat lebih terbuka sehingga di dalam satuan organisasi pendidikan yang kecil bisa memiliki personel-personel dengan jenjang pangkat yang tinggi. Dilihat dari prosesnya, manajemen personel mencakup mulai dari pengadaan, pengangkatan, pembinaan, pengawasan, pemberhentian, dan penugasan, yang perlu dicermati untuk memperoleh system manajemen personel yang paling cocok dalam pendidikan, dan kalau perlu justru meningkatkan mutu proses pendidikan. 
ü Manajemen Kurikulum
  Salah satu tugas sekolah adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku. Dengan demikian, pemahaman terhadap kurikulum sampai denga strategi pelaksanaannya sangat penting. Pengelolaan kurikulum harus diarahkan agar proses pembelajaran berjalan dengan baik, dengan tolak ukur pencapaian tujuan oleh siswa. Yang menjadi perhatian adalah bagaimana strateginya agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.  
  Untuk mengembangkan kurikulum pendidikan professional, setidaknya ada dua pendekatan integrative dan pendekatan kompetensi. Pendekatan integrative berusaha menyusun kurikulum dengan mengintegrasikan cirri pendidikan formal disekolah dengan ciri pendidikan nonformal untuk memberikan keterampilan didunia kerja. 
  Dalam upaya melihat progress pencapaian kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses tes yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup aspek-aspek kognitif, afektif, psikomotor. 
ü Manajemen Sarana dan Prasarana 
` Untuk proses pengadaan sarana pendidikan, ada beberapa kemungkinan yang bisa ditempuh, yaitu (1) pembelian dengan biaya pemerintah, (2) pembelian dengan biaya dari SPP, (3) bantuan dari masyarakat lainnya. 
ü Manajemen Kesiswaan
 Berkenaan dengan manajemen kesiswaan, ada beberapa prinsip dasar yang harus mendapat perhatian berikut ini :
1. Siswa harus diperlakukan sebagai subjek bukan objek.
2. Keadaan dan kondisi siswa sangat beragam, ditinjau dari kondisi fisik, kemampuan intelektual, social, ekonomi, minat, dan sebagainya.
3. Pada dasarnya siswa hanya akan termotivasi belaja, jika mereka menyenangi apa yang diajarkan.
4. Pengembangan potensi siswa tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif dan psikomotor. 
ü Manajemen Pembiayaan 
 Paling tidak ada tiga persoalan pokok dalam manajemen pembiayaan pendidikan, yaitu (1) financing, menyangkut darimana sumber pembiayaan diperoleh, (2) budgeting, bagaimana dana pendidikan dana pendidikan dialokasikan, dan (3) accountability, bagaimana anggaran yang diperoleh digunakan dan dipertanggungjawabkan. 
 Pembiayaan sekolah adalah kegiatan mendapatkan biaya serta mengelola anggaran pendapatan dan belanja pendidikan terutama tingkat menengah, sebab untuk pendidikan dasar, berkenaan dengan adanya Wajib Belajar, semestinya pembiayaan dijamin pemerintah. Kegiatan ini dimulai dari perencanaan biaya, usaha untuk mendapatkan dana yang mendukung rencana it, penggunaan, serta pengawasan penggunaan anggaran yang sudah ditetapkan. 
ü Manajemen Kehumasan
Kegiatan humas disekolah tidak cukup hanya menginformasikan fakta-fakta tertentu dari sekolah yang bersangkutan, tetapi juga harus mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
1. Melaporkan tentang pikiran-pikiran yang berkembang dalam masyarakat tentang masalah pendidikan .
2. Membantu kepala sekolah bagaimana usaha untuk memperoleh bantuan dan kerja sama.
3. Menyusun rencana bagaimana cara-cara memperoleh bantuan.
4. Menunjukkan pergantian keadaan pendapatan umum.
Dengan demikian, humas pada dasarnya tidak hanya bersifat publisitas belaka, tetapi jauh dari itu bagaimana sekolah membangun jalinan kerja sama dengan pihak-pihak lain berupa networking, dimana kerja sama ini untuk kondisi sekarang merupakan sesuatu yang sangat vital dan penting dilakukan, dengan tujuan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan disekolah. 

Ø Otonomi Perguruan Tinggi
  Perguruan tinggi memerlukan otonomi bukan hanya otonomi dalam bentuk kebebasan akademik, tetapi juga otonomi kelembagaan dalam masalah-masalah manajemen, penyusunan program, dan anggaran. Dengan demikian, pendidikan tinggi tersebut sebagai lembaga akan bersifat kreatif dan menjadi pelopor perubahan baik di dalam masyarakat sekitarnya maupun di dalam kemajuan ilmu pengetahuan. 
  Dengan adanya otonomi lembaga pendidikan tinggi, maka dapat dipilah-pilih prinsip-prinsip mana yang dapat diterapkan dalam lingkungan pendidikan tinggi yang ada. Mengubah suatu system manajemen pendidikan tinggi tidaklah semudah sebagaimana yang digambarkan. Terdapat banyak kendala yang dihadapi di dalam penerapan suatu system. Selain itu, setiap perubahan system biasanya menuntut biaya dan persiapan yang matang, apalagi jika tidak tersedia sumber daya manusia yang diperlukan, maka setiap prinsip manajemen baru akan meminta biaya besar. 
  Namun demikian, dalam rangka penerapan otonomi perguruan tinggi terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi, yaitu (1) kualitas sumber daya manusia yang terbatas, (2) sikap dan budaya kerja yang kurang disiplin, (3) terbatasnya sumber daya emerintah untuk menyediakan biaya operasional tahap awal, (4) terbatasnya kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya dengan pembayaran SPP yang tinggi, (5) kurangnya kesabaran dosen, teknisi, dan tenaga administrasi untuk berjuang bersama denan penghargaan yang terbatas sebelum perguruan tinggi menghasilkan cukup dana dari usaha swadayanya. 
  Suatu pendidikan tinggi memerlukan otonomi bukan hanya ototnomi dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik seperti yang dikenal selama ini, tetapi juga otonomi lembaga di dalam masalah-masalah manajemen, penyusunan program, dan anggaran. Dengan demikian, perguruan tinggi tersebut sebagai lembaga akan bersifat kreatif dan menjadi pleopor perubahan baik di dalam masyarakat sekitarnya maupun di dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Otonomi perguruan tinggi bertujuan (1) untuk mengambil keputusan secara bebas sesuai dengan potensi dan kemajuan iptek; (2) untuk meningkatkan kualitas berbagai inovasi dalam iptek; (3) untuk meningkatkan kegaiatn social sebagai perwujudan salah satu tri dharma perguruan tinggi. 
  Pemberian otonomi klepada perguruan tinggi menyangkut bebarapa aspek sebagai berikut :
1. Otonomi eksternal, dalam bentuk pemberian status sebagai badan hokum, atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan BHMN (Badan Hukum Milik Negara).
2. Otonomi organisasi, perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk menetapkan struktur organisasi, termasuk menciptakan stuktur program studi dan kegiatan akademik serta merencanakan sumber daya.
3. Otonomi kelembagaan, dimana perguruan tinggi mempunyai kebebasan untuk menetapkan bagaimana fungsi dan kontribusi mereka dalam mengembangkan, melanggengkan, mentransimisikan, dan menggunakan ilmu pengetahuan. 
  Akuntabilitas suatu lembaga pendidikan tinggi berarti sejau mana lembaga tersebut mempunyai makna dari the shareholder lembaga tersebut, yaitu masyarakat. Dalam upaya meningkatkan akuntabilitas perguruan tinggi, perlu ditingkatkan partisipasi mesyarakat didalam pengelolaannya. Hal ini berarti masyarakat merasa memiliki dan karenanya aktif menunjang pengembangannya. Konteksnya dengan hal itu, berartio perguruan tinggi berfungsi tidak hanya sebagai pengembang dan tempat menggali ilmu pengetahuan, tetapi lebih jauh bisa dikatakan sebagai industri kebutuhan-kebutuhan perkembangan ekonomi atau tenaga kerja yang diiperlukan oleh daerah dimana lembaga pendidikan tinggi itu berada. 
  Pengelolaan sumber daya manusia merupakan isu sentral dalam pengelolaan perguruan tinggi. Oleh karena itu, sebuah perguruan tinggi harus dapat menghasilkan SDM yang mampu : (1) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, (2) mengolah potensi-potensi pembangunan, (3) meningkatkan produktivitas, modal, dan investasi, serta (4) SDM yang diperlukan dan termotivasi untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan. 
  Akhirnya, dalam upaya meningkatkan peran dan kualitas perguruan tinggi ke depan, akuntabilitas dan kemandirian perguruan tinggi merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, para penyelenggara pendidikan tinggi sekarang perlu melakukan instropeksi dan retropeksi sejauh amna hal tersebut sudah dilakukan. Perguruan tinggi yang memerhatikan akuntabilitas sdah pasti akan melibatkan partisipasi masyarakat.Dalam hal ini, tidak saja dalam bentuk pengelolaan, tetapi juga program-program yang dikembangkan perguuan tinggi harus menyahuti dan mempunyai relevansi dengan berbagai kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya. 

Ø Otonomi di Lembaga Pendidikan Islam
 Pendidikan Islam menjadi salah satu isu penting dalam setiap pembahasan yang menyangkut kehidupan umat Islam. Itulah sebabnya berbagai pertemuan ilmiah baik yang berskala lokal sampai internasional mengenai pendidikan Islam sudah sekian banyak dilaksanakan. Dalam konteks akademik, realitas itu jelas merupakan upaya percepatan dalam rangka memperkaya dan mengukuhkan bangunan teoretis kependidikan Islam, lebih-lebih dengan sentuhan ideologis, kalangan akademik pun turut serta dalam mengoperasikan cita-cita kependidikan Islam yang dalam hal ini tentu saja dalam konteks pendidikan di Indonesia. 
 Secara historis pendidikan Islam tidak bida dipisahkan dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pendidikan Islam (pesanten kemudian disusul madrasah) merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang ada di Indonesia. Pengakuan secara yuridis terhadap kelembagaan pendidikan Islam dengan ciri khasnyabaru dapat dilihat dengan kehadiran UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam UU tersebut, pendidikan madrasah diakui sebagai subsistem pendidikan nasional sebagaimana juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, dan PP No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.
 Dari perjalanan historisnya tersebut, meskipun pendidikan Islam tidak jarang mendapatkan tekanan dan kurang mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah, namun pendidikan Islam telah berhasil survive di dalam berbagai situasi dan kondisi mengarungi masa-masa sulitnya. Hal demikian menyebabkan pendidikan Islam menyandang berbagai jenis nilai luhur, seperti berikut :
1. Nilai historis, di mana pendidikan Islam telah survive baik pada masa kolonial hingga zaman kemerdekaan. 
2. Nilai religius, pendidikan Islam di dalam perkembangannya tentunya telah memelihara dan mengembangkan nilai-nilai agama Islam sebagai salah satu nilai budaya bangsa Indonesia.
3. Nilai moral, pendidikan Islam tiidak diragukan lagi sebagai pusat pemelihara dan pengembangan nilai-nilai moral yang berdasarkan agama Islam. 
 Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan Islam, diantaranya madrasah, lahir dari dan untuk masyarakat> Meskipun dalam perkembangannya madrasah dikelola oleh yayasan, pengurus, bahkan perorangan, kehidupan madrasah telah ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya. 
 Dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi pendiidkan, pada dasarnya keberadaan peantren tidak banyak yang berubah sebab sebagai konsekuensi dari desentralisasi pendidikan adalah diserahkannya kembali pendidikan kepada masyarakat yang memilikinya, sementara pesantren sudah sejak lama berada di tengah-tengah masyarakat, didirikan oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Oleh karena itu, yang perlu dibenahi hanya dalam hal-hal bagaimana agar pesantren tidak ketinggalan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai perubahan yang terjadi.